WAKAF
A.
DASAR HUKUM WAKAF
Adapun yang
dinyatakan sebagai dasar hukum wakaf oleh
para ulama, Al Quran surat Al Hajj:
77
Berbuatlah kamu
akan kebaikan agar kamu dapat kemenangan.
Dalam ayat lain
yaitu surat Ali Imron: 92, Allah berfirman:
Akan mencapai
kebaikan bila kamu menyedekahkan apa yang
masih kamu cintai.
Dalam salah satu
hadits yang diriwayatkan oleh Imam jama’ah
kecuali Bukhari dan Ibnu Majah dari
Abu Hurairah ra sesungguhnya Nabi saw
bersabda:
Apabila mati
seorang manusia, maka terputuslah pahala
perbuatannya, kecuali tiga perkara: shodaqoh
jariyah (wakaf), ilmu yang dimanfaatkan,
baik dengan cara mengajar maupun dengan
karangan dan anak yang sholeh yang
mendoakan orang tuanya.
B.
KETENTUAN-KETENTUAN WAKAF
Menurut Ahmad
Azhar Basyir berdasarkan hadits yang berisi
tentang wakaf Umar ra maka diperoleh
ketentuan-ketentuan sbb:
1.
Harta wakaf harus tetap (tidak dapat
dipindahkan kepada orang lain), baik dijualbelikan,
dihibahkan, maupun diwariskan.
2.
Harta wakaf terlepas dari pemilikan orang
yang mewakafkannya.
3.
Tujuan wakaf harus jelas (terang) dan
termasuk perbuatan baik menurut ajaran
agama Islam.
4.
Harta wakaf dapat dikuasakan kepada
pengawas yang memiliki hak ikut serta
dalam harta wakaf sekadar perlu dan
tidak berlebihan.
5.
Harta wakaf dapat berupa tanah dan
sebagainya, yang tahan lama dan tidak
musnah sekali digunakan.
C.
RUKUN DAN SYARAT WAKAF
Syarat-syarat wakaf:
1.
Wakaf tidak dibatasi dengan waktu tertentu
sebab perbuatan wakaf berlaku untuk
selamanya, tidak untuk waktu tertentu. Bila
seseorang mewakafkan kebun untuk jangka
waktu 10 tahun misalnya, maka wakaf
tersebut dipandang batal.
2.
Tujuan wakaf harus jelas, seperti
mewakafkan sebidang tanah untuk masjid dsb.
Apabila seseorang mewakafkan sesuatu kepada hukum
tanpa menyebut tujuannya, hal itu dipandang
sah sebab penggunaan benda-benda wakaf
tersebut menjadi wewenang lembaga hukum
yang menerima harta-harta wakaf tersebut.
3.
Wakaf harus segera dilaksanakan setelah
dinyatakan oleh yang mewakafkan, tanpa
digantungkan pada peristiwa yang akan
terjadi di masa yang akan datang
sebab pernyataan wakaf berakibat lepasnya
hak milik bagi yang mewakafkan. Bila wakaf
digantungkan dengan kematian yang mewakafkan,
ini bertalian dengan wasiat dan tidak bertalian
dengan wakaf. Dalam pelaksanaan seperti
ini, berlakulah ketentuan-ketentuan yang
bertalian dengan wasiat.
4.
Wakaf merupakan perkara yang wajib
dilaksanakan tanpa adanya hak khiyar (membatalkan
atau melangsungkan wakaf yang telah
dinyatakan) sebab pernyataan wakaf berlaku
seketika dan untuk selamanya.
Rukun-rukun wakaf ialah:
1.
Orang yang berwakaf (wakif)
Wakif mempunyai
kecakapan melakukan tabarru, yaitu melepaskan
hak milik tanpa imbalan materi. Orang
dikatakan cakap bertindak tabarru adalah
baligh, berakal sehat, dan tidak terpaksa.
2.
Harta yang diwakafkan (mauquf)
Harta wakaf
merupakan harta yang bernilai, milik waqif
dan tahan lama untuk digunakan. Harta
wakaf dapat berupa uang yang dimodalkan,
berupa saham pada perusahaan dsb.
Untuk harta yang berupa modal harus
dikelola sedemikian rupa (semaksimal mungkin)
sehingga mendatangkan kemaslahatan atau keuntungan.
3. Tujuan
wakaf (mauquf’alaih)
Tujuan wakaf harus
sejalan dengan nilai-nilai ibadah, sebab
wakaf merupakan salah satu amalan shadaqah
dan shadaqah merupakan salah satu perbuatan
ibadah. Harta wakaf harus segera dapat
diterima setelah wakaf diikrarkan. Bila
wakaf diperuntukkan membangun tempat-tempat
ibadah umum, hendaklah ada badan yang
menerimanya.
Pada diskusi yang
kami lakukan, ada pertanyaan dari audien
tentang:
Bagaimana hukumnya
jika tujuan wakaf itu dialihkan, misalnya
awalnya ditujukan untuk membangun masjid,
tetapi mengingat di daerah itu sudah
ada masjid, maka tujuan waqaf tadi dialihkan
untuk pembangunan MDA.
Jawaban kami
adalah boleh karena ditinjau dari tujuannya
wakaf tersebut masih digunakan untuk
kepentingan syiar Islam, untuk memajukan
pendidikan Islam pada umumnya. Jadi
tujuannya masih ditujukan untuk kepentingan
umum umat Islam.
4.
Pernyataan wakaf (shigat waqf)
Wakaf itu di-shigat-kan,
baik dengan lisan, tulisan, maupun dengan
isyarat. Wakaf dipandang telah terjadi
apabila ada pernyataan wakif (ijab) dan
Kabul dari mauquf’alaih tidak diperlukan.
Isyarat hanya boleh dilakukan bagi wakif
yang tidak mampu melakukan lisan dan
tulisan.
D.
MACAM-MACAM WAKAF
Menurut para ulama
secara umum wakaf dibagi menjadi dua
bagian:
1.
Wakaf ahli (khusus)
Wakaf ahli disebut
juga wakaf keluarga atau wakaf khusus.
Maksud wakaf ahli ialah wakaf yang
ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang
atau terbilang, baik keluarga wakif maupun
orang lain. Misalnya, seseorang mewakafkan
buku-buku yang ada di perpustakaan
pribadinya untuk turunannya yang mampu menggunakan.
Wakaf semacam ini dipandang sah dan
yang berhak menikmati harta wakaf itu
adalah orang-orang yang ditunjuk dalam
pernyataan wakaf.
2.
Wakaf khairi
Wakaf khairi ialah
wakaf yang sejak semula ditujukan untuk
kepentingan-kepentingan umum dan tidak ditujukan
kepada orang-orang tertentu. Wakaf khairi
inilah yang benar-benar sejalan dengan
amalan wakaf yang amat digembirakan dalam
ajaran Islam, yang dinyatakan pahalanya
akan terus mengalir hingga wakif meninggal
dunia, selama harta masih dapat
diambil manfaatnya.
E.
SYARAT-SYARAT WAKIF
Dalam wakaf
terkadang wakif mensyaratkan sesuatu, baik
satu maupun berbilang. Wakif dibolehkan
menentukan syarat-syarat penggunaan harta wakaf,
syarat-syarat tersebut harus dihormati selama
sejalan dengan ajaran agama Islam.
Misalnya, seseorang mewakafkan tanah untuk
mendirikan pesantren khusus laki-laki, syarat
seperti itu harus dihormati karena sejalan
dengan ketentuan-ketentuan syara’.
Apabila syarat-syarat
penggunaan harta wakaf bertentangan dengan
ajaran Islam, wakafnya dipandang sah,
tetapi syaratnya dipandang batal. Misalnya, seseorang
yang mewakafkan tanah untuk masjid jami’,
dengan syarat hanya dipergunakan oleh para
anggota perkumpulan tertentu, maka wakafnya
dipandang sah, tetapi syaratnya tidak perlu
diperhatikan.
F.
MENUKAR DAN MENJUAL HARTA WAKAF
Berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Umar ra yang
menceritakan tentang wakaf bahwa wakaf
tidak boleh dijual, diwariskan dan dihibahkan.
Perbuatan wakaf
dinilai ibadah yang senantiasa mengalir
pahalanya apabila harta wakaf itu dapat
memenuhi fungsinya yang dituju. Dalam hal
harta wakaf berkurang, rusak, atau tidak
dapat memenuhi fungsinya yang dituju, harus
dicarikan jalan keluar agar harta itu
tidak berkurang, utuh dan berfungsi. Bahkan
untuk menjual atau menukar pun tidak
dilarang, kemudian ditukarkan dengan benda
lain yang dapat memenuhi tujuan wakaf.
Ibnu Qudamah
berpendapat bahwa apabila harta wakaf
mengalami rusak hingga tidak dapat membawa
manfaat sesuai dengan tujuannya, hendaknya
dijual saja, kemudian harga penjualannya
dibelikan benda-benda lain yang akan
mendatangkan manfaat sesuai dengan tujuan
wakaf dan benda-benda yang dibeli itu
berkedudukan sebagai harta wakaf seperti semula.
Pada diskusi kami
juga ada pertanyaan tentang bagaimana jika
masjid yang sudah diwakafkan itu dijual
dan uangnya digunakan untuk membangun
masjid di tempat lain.
Jawaban kami
adalah boleh, mengingat harta wakaf itu
yang diambil adalah nilai manfaatnya, jadi
ketika masjid itu sudah nampak rusak
dan tidak layak pakai, boleh dijual
dan dibangunkan masjid lain meskipun di
tempat yang berbeda. Kebolehan ini
mengingat fungsi masjid itu masih untuk
syiar Islam dan kepentingan umum umat
Islam.
G.
PENGAWASAN HARTA WAKAF
Pada dasarnya
pengawasan harta wakaf merupakan hak wakif,
tetapi wakif boleh menyerahkan pengawasan
kepada yang lain, baik lembaga maupun
perorangan. Untuk menjamin kelancaran masalah
perwakafan, pemerintah berhak campur tangan
dengan mengeluarkan peraturan-peraturan yang
mengatur permasalahan wakaf termasuk pengawasannya.
Untuk pengawas
wakaf yang sifatnya perorangan diperlukan
syarat sbb:
1.
Berakal
sehat
2.
Baligh
3.
Dapat
dipercaya
4.
Mampu
melaksanakan urusan-urusan wakaf
Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi,
hakim berhak menunjuk orang
lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan
wakif. Bila kerabat juga
tidak ada, maka ditunjuk orang lain.
Agar pengawasan dapat berjalan
dengan baik, pengawas wakaf yang bersifat
perorangan boleh diberi imbalan
secukupnya sebagai gajinya atau boleh
diambil dari hasil harta wakaf.
Pengawas harta wakaf berwenang melakukan
perkara-perkara yang dapat
mendatangkan kebaikan harta wakaf dan
mewujudkan keuntungan
-keuntungan bagi tujuan wakaf, dengan
memperhatikan syarat-syarat yang
ditentukan wakif.
Jaminan perwakafan
di Indonesia dinyatakan dalam Undang-Undang
Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 Pasal
49 ayat 3 yang menyatakan bahwa perwakafan
tanah milik dilindungi dan diatur dengan
peraturan Pemerintah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar