PENGERTIAN
BAI’ AS-SALAM
Secara
bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha'
(الإعطاء) dan at-taslif
(التسليف). Keduanya
bermakna pemberian.[1][1] Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna
: dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.[2][2]
Sedangkan secara
istilah syariah, akad
salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في
الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya
dalam tanggungan dengan
imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk
Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan
penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda
yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara
tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut
ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga
boleh diserahkan secara tunai.[3][3]
Secara
lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran
dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atau forward
buying atau future sale) dengan
harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas,
serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.[4][4]
Fuqaha
menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak
ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik
modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada
uang dari harga barang.[5][5] Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa
mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut
benar-benar tersedia.[6][6]
B.
LANDASAN SYARIAH
Landasan
syariah transaksi bai’ as-Salam
terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a.
Al-Quran
$yg•ƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#y‰s? Aûøïy‰Î #’n<Î) 9@y_r& ‘wK|¡•B çnqç7çFò2$$sù 4
282. Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah[7][7] tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.[8][8]
Dan utang secara umum meliputi
utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya.
Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.[9][9]
Dalam
kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan
transaksi bai’ as-Salam, hal ini
tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya
bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca
ayat tersebut.[10][10]
b. Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ:
قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي
اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ
فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ
) مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam
datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun
dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka
hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu."
Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan
sesuatu."[11][11]
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ
بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا: ( كُنَّا
نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ
يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ
وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ
ذَلِك) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa
Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu
kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering
-dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang
bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak
menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).[12][12]
Abdullah bin Abu Mujalid r.a.
berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah
tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa. Lantas saya tanyakan
kepadabya perihal iti. Jawabnya. ‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw.,
pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir,
buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza,
jawabnya pun seperti itu juga. (Bukhari).[13][13]
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan sebagai kegiatan
bemuamalah sesama manusia.
C.
RUKUN BAI’ AS-SALAM
1. Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2. Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3. Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
4. Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
5.
Shigat adalah
ijab dan qabul.
D.
SYARAT JUAL BELI SALAM
Syarat-syarat
sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:[15][15]
1. Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan
baligh.
2. Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis,
ciri-ciri, dan ukurannya.
3. Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta
dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha,
pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang
penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam. pembayarannya
tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.
Ijab dan qabul harus diungkapkan
dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan
keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat
bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis
barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui,
waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas
tempat penyerahannya.[16][16]
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa
akad salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat
muslam fiih.
1.
Syarat-syarat
In’iqad
a.
Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah
disebutkan.
b. Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan
harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam merupakan transaksi harta benda, yang hanya
sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, seperti halnya akad
jual beli.
2.
Syarat
Sah Salam
a.
Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad
disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya,
andaikan pembayaran salam ditangguhkan,
terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jika
harga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b.
Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat
penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak
maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima
pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan
sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau layak dijadikan tempat penyerahan barang
tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.
3.
Syarat
Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan,
yaitu sebagai berikut:
a.
Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan
sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya
dengan barang lain dan tentu mempunyai
fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum, jagung putih, jagung
kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan
barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli salam. Penyebutan karakteristik tersebut sangat
perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b.
Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan
takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang
dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan
yang tidak dapat diukur dengan takaran.
‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak salam pada
binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jika pembayaran ditentukan
pada waktu yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus
mengizinkan praktek penjualan di muka.[17][17]
c.
Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi
tanggungan).
d.
Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo
penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena
itu dilarang alam akad salam.[18][18]
Hal-hal lain yang terkait dengan
transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:[19][19]
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1
DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a) Ketentuan Pembayaran Uang
Kas:
i. Alat bayar
harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa uang, barang, atau manfaat;
ii. Dilakukan
saat kontrak disepakati (in advance);
dan
iii.
Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh
pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton
dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan
membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani
memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya
akad salam tersebut.
iii. Waktu
dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
iv. Pembeli
tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh).
Ini prinsip dasar jual beli; dan
v. Tidak boleh
menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
c) Penyerahan Barang sebelum
Tepat Waktu:
i. Penjual
wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang
disepakati;
ii. Bila penjual
menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta
tambahan harga;
iii. Jika
penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela
menerimanya, maka pembeli tidak boleh meminta pengurangan harga (diskon); dan
iv. Penjual
dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat:
kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut
tambahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak
tersedia tepat pada waktu penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli
tidak rela menerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1. Membatalkan kontrak dan
meminta kembali uang.
2.
Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan
kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka
persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006
setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga
memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian
sengketa. Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka
tertutuplah peranan pengadilan agama.
Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman,
para fuqaha memiliki pendapat berikut:
a.
Hanafi menetapkan periode penyerahan
barang pada satu bulan. Untuk beberapa penundaan, selambat-lambatnya adalah
tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam
mencapai kematangan. Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan
“Jika penjual meninggal dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi
belum menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, barang tersebut dianggap
barang titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual.
b.
Menurut Syafi’i salam dapat segera
dan tertunda.
E.
SALAM PARALEL
1.
Pengertian
Salam paralel yaitu melaksanakan dua
transaksi bai’ as-Salam antara bank dengan nasabah, dan antara bank
dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking
& Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel
dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan
akad salam yang pertama.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama
jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal
demikian diduga akan menjurus kepada riba.
2.
Ketentuan Umum
a.
Pembatalan kontrak
Pembatalan kontrak dengan
pengembalian uang pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan
penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali seluruh
modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian
penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal.
b. Penverahan muslam
fihi sebelum atau pada waktunva.
Muslam ilaih harus menyerahkan muslam
fihi tepat pada waktunya dengan kualitas
dan kuantitas sesuai kesepakatan. Jika muslam
ilaih menyerahkan muslam fihi
dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam harus menerimanya dengan syarat bahwa muslam ilaih
tidak meminta harga yang lebih tinggi sebagai ganti kualitas yang lebih baik
tersebut.
Jika muslam
ilaih mengantar muslam fihi
dengan kualitas lebih rendah, pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau
menerimanya. Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih
menyerahkan muslam fihi yang berbeda dari yang telah disepakati.
Muslam ilaih dapat menyerahkan muslam
fihi lebih cepat dari yang telah
disepakati, dengan beberapa syarat:
a)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi
telah disepakati.
b)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi
tidak lebih tinggi dari kesepakatan.
c)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi
tidak lebih rendah dari kesepakatan.
d)
Jika semua atau sebagian muslam fihi
tidak tersedia pada waktu penyerahan, muslam mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan
meminta kembali uangnya. Kedua, menunggu sampai muslam
fihi tersedia.
3.
Perbedaan Bai’ as Salam dengan Ijon
Banyak orang yang menyamakan bai’ as salam
dengan ijon Padahal, terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalam ijon,
barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik.
Demikian juga penetapan harga beli, sangat tergantung kepada keputusan sepihak
si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya
lebih lemah. Sedangkan transaksi bai
'as salam mengharuskan adanya 2 hal:
a.
Pengukuran dan spesifikasi barang
yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh
Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan
transaksi salaf (salam), maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas,
timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula."
b.
Adanya keridhaan yang utuh antara
kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
dengan suka sama suka di antara kalian."
(Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan adanya harga yang
“fair” ini pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.
Contoh
Ijon:
Pembeli membeli beras yang saat itu
masih belum dipanen sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen.
Contoh
Bai’ as Salam:
Pembeli membeli padi sebanyak satu
ton padi dari petani yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon terdapat spekulasi
yang akan merugikan salah satu pihak. Jika pembeli memperkirakan hasil panen
sebanyak lima ton dan membayar seharga itu, sedangkan kenyataannya menghasilkan
tujuh ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa menikmati dua ton kelebihannya.
Tetapi sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton maka pembeli yang merugi karena
telah membayar seharga lima ton.
Pada contoh bai'
as salam, petani hanya menjual sebagian dari
produknya. Kalau terjadi gagal panen, ia hanya wajib menyediakan padi sebanyak
yang dapat dipenuhinya.
4.
Aplikasi dalam Perbankan
Bai’ as salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan
jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank
adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak bemiat untuk
menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory,
maka dilakukan akad bai’as salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar
induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel.
Bai ’ as salam
juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk
garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya,
saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan
penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat
garmen tersebut dan membayamya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian
mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah
direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila garmen itu telah selesai
diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan
kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
5.
Risiko dan Manfaat
Berdasarkan sifatnya yang paralel, bai' as salam
mengandung risiko berdasarkan sifatnya yang simultan, salam paralel memiliki
beberapa manfaat dan risiko yang harus diantisipasi oleh bank syariah, di
antaranya:
a.
Default. Jika pemasok tidak bisa mendatangkan barang yang dipesan
karena lalai atau menipu. Maka, bank tidak bias memenuhi barang yang diminta
oleh pembeli.[21][21]
b.
Tak terjual, bank tidak bisa mencari
pembeli dari barang salam. Hal terjadi jika
pemasok mengantarkan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan saat kontrak.
c.
Harga, harga barang ketika diantar
lebih rendah dari harga yang disepakati dengan penjual saat kontrak.
Manfaat bai’as salam
adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada
pembeli.
6.
Skema Aplikasi Jual Beli Salam
di Perbankan Syariah
Skema jual beli salam yang dapat diaplikasikan dalam
perbankan syariah adalah seperti pada Gambar berikut[22][22].
Keterangan:
Koperasi petani mangga harum manis
memerlukan bantuan dana untuk mensukseskan panen anggota-anggotanya tahun depan
terhitung dari sekarang. Untuk itu, koperasi petani tersebut mendatangi bank
syariah dan menawarkan skema jual beli salam agar bank syariah tidak rugi dan
petanipun dapat panen dengan baik. Maka prosesnya adalah sebagai berikut:
1. Bank syariah membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi
petani buah mangga harum manis dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram
menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
2. Bank syariah membayar tunai kepada koperasi tersebut
sebesar: Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp. 500.000.000,- .
3. Bank syariah menjual kepada pemborong buah mangga harum
manis dengan harga Rp.55.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk
1 tahun kedepan.
4. Pemborong membayar tunai kepada bank syariah sebesar:
Rp.55.000,- x 1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
5. Setelah satu tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan
mangga harum manis dengan jumlah dan kualitas sesuai pesanan kepada bank
syariah.
6. Bank syariah kemudian mengirimkan buah-buah tersebut kepada
pemborong.
7. Pemborong menjual mangga harum manis di pasar buah dengan
harga Rp.100.000,- per kilogram.
8. Pemborong mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di
pasar buah.
Dari penjelasan dalam skema di atas,
terlihat bahwa semua yang terlibat dalam jual beli salam mendapatkan keuntungan
mereka masing-masing. Para petani mendapatkan keuntungan berupa panen yang baik
dengan hasil yang memuaskan disebabkan keperluan-keperluan mereka dalam
mengelola perkebunan tersebut dapat terpenuhi dengan uang tunai yang dibayarkan
di muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan pihak bank syariah mendapatkan
keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang merupakan selisih harga jual
kepada pemborong dengan harga beli dari petani mangga. Dan pihak pemborong
mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari bank syariah dengan harga
jual di pasar buah.
Memang resiko yang ditanggung oleh
pihak bank dan pemborong cukup besar, utamanya ketika prospek harga barang
tersebut ke depannya tidak terlalu positif. Oleh karena itu, sikap
kehati-hatian bank dalam model jual beli ini sangatlah tinggi, dan skema ini
pada akhirnya memang tidak dapat diterapkan untuk semua jenis produk atau hasil
pertanian, hanya pada jenis-jenis hasil pertanian yang dapat diramalkan bagus.
Definisi
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar dari
kata dasar istashna'a-yastashni'u (اتصنع -
يستصنع). Artinya meminta orang
lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan,
meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan
ulama dari mazhab Hanafi, istishna' adalah (عقد
على مبيع في الذمة شرط فيه العمل).
Artinya, sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat
mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang
punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan
harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah
terjadi dalam pandangan mazhab ini.[2]
Senada dengan definisi di atas,
kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة
ليست عنده على وجه غير السلم).
Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak
termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan
jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).[3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan
Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga
definisinya juga terkait, yaitu (الشيء المسلم للغير من
الصناعات), yaitu suatu
barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. [4]
Jadi secara sederhana,
istishna' boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai
pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak
ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak
1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.
2. Masyru'iyah
Akad istishna' adalah akad yang
halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan
Al-Ijma' di kalangan muslimin.
2.1. Al-Quran
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ
وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli
dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya
para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali
yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
2.2. As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ
اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ
الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ
خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ.
رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak
menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa
raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau
pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas
menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di
tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti
nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. [5]
2.3. Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada
dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma')
bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak
dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. [6]
2.4. Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di
setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah
dalam segala hal selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل
الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah
boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
2.5. Logika
Orang membutuhkan barang yang
spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang
dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa
perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini
tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah
barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak
mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[7]
3. Rukun
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang
harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi : [1] Kedua-belah pihak, [2]
barang yang diakadkan dan [3] shighah (ijab qabul).
3.1. Kedua-belah pihak
Kedua-belah pihak maksudnya
adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai
pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya
pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan
shani' (الصانع).
3.2. Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut
dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi
objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus
diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[8]
Namun menurut sebagian kalangan
mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang
mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut
yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.[9]
3.3 Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu
sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang
untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah
jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban
dan haknya itu.
4. Syarat
Dengan memahami hakekat akad
istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama
mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad
salam diantaranya:
4. 1. Penyebutan & penyepakatan
kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah
terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo
penyerahan barang yang dipesan.
4. 2. Tidak dibatasi waktu
penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara
otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh
hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu
Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat
bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya
berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu
kala dalam akad istishna'.
Dengan demikian, tidak ada alasan
untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi
masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at. [10]
3. Barang yang dipesan adalah barang
yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas
langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas
bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah
berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan demikian, akad ini hanya
berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan
dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum
asal
Akan tetapi, dengan merujuk
dalil-dalil dibolehkannya akad istishna', maka dengan sendirinya persyaratan
ini tidak kuat.
Betapa tidak, karena akad istishna'
bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil
dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk
membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan
dengan skema istishna' saja.
5. Hakikat Akad Istishna'
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat
tentang hakekat akad istishna' ini.
Sebagian menganggapnya sebagai akad
jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli,
atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). [11]
Sebagian lainnya menganggap sebagai
2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya
adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua selesai dari
pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual
beli.[12]
Nampaknya pendapat pertama lebih
selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2
yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan
menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen,
dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang
diingikan oleh pemesan.
[1] Lihat Lisanul Arab pada madah (صنع)
[2] Badai'i As shanaai'i oleh Al
Kasaani jilid 5 halaman 2
[3] Kasysyaf Al-Qinna' jilid 3
halaman 132
Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack - Jeopardy
BalasHapusToday, Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack 속초 출장마사지 hosts a variety of live casino games, a wide 부산광역 출장샵 variety of slots, and table games. 춘천 출장샵 In addition 김포 출장샵 to daily 속초 출장샵