PENGERTIAN BAI’ AL-MURABAHAH
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah.[1]
Bank
syariah membeli barang yang diperlukan
nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga
perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah
dan nasabah.
Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang
lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada
pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang
dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.
Jika seseorang melakukan penjualan
komoditi/barang dengan harga lump sum tanpa memberi tahu berapa nilai pokoknya,
maka bukan termasuk murabahah, walaupun ia juga mengambil keuntungan dari
penjualan tersebut. Penjualan ini disebut musawamah.
Kata al-Murabahah diambil
dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan
(keuntungan).[2]
Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal
ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan
harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli)
dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya
adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh
ribu rupiah.
Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan:
(Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini
dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak
tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui
kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil.
Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara
ulama, sebagaimana disampaikan Ibnu Qudaamah, bahkan Ibnu Hubairoh menyampaikan
ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani.[3]
Inilah jual beli Murabahah yang ada
dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang
marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang
berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang
berlaku dimasa lalu. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti
ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah
berbeda?
Diantara definisi yang disampaikan
mereka adalah:[4]
1.
Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan
dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan
dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan
keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang
disepakati didepan (diawal transaksi).
2.
Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan
pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian
nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan
lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan
harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya
atas harga pembeliaun dimuka.
3.
Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan,
karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang
tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo.
Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada
nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
4. Ia adalah
yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai
pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank
tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan
keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.
C. LANDASAN
SYARI’AH
Para ulama dalam masalah ini adalah
tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:[5]
a.
Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang
tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah
akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang
dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu
yang belum dimilikinya.
b.
Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan
bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar
darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.
c.
Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
dalam hadits yang berbunyi:
نَهَى
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي
بَيْعَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’
al-Gholil 5/149)[6]
Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad
(transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam
satu jual beli. [7]
Ketentuan Diperbolehkannya
Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid
menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah ini dengan
menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:
1.
Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara
tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah
terima.
2.
Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu
dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali
menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
3.
Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang
kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.
D. SYARAT BAI’
AL-MURABAHAH
Syarat syarat ba’I murabaha: [8]
a.
Penjual memberitahubiaya modal kepada nasabah.
b.
Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.
Kontrak harus bebas dari riba.
d.
Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atau barang sesudah
pembelian.
e.
Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan demgan pembelian, misalnya
jika pembelian dilakukan secara utang
Secara prinsip, jika sarat dalam
a,d,dan e tidak dipenuhi pembeli akan memiliki pilihan yaitu:[9]
Melanjutkan pembelian
seperti apa adanya,
Kembali kepada penjua dan
menyatakan ketidak setujuan atas barang yang dijual,
Membatalkan kontrak.
Murabahah dapat dilakukan
berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. . Dalam murabahah berdasarkan pesanan,
bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.Murabahah
berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk
membeli barang yang dipesannya.
Dalam murabahah pesanan mengikat
pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah
dibeli bank (sebagai penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami
penurunan nilaisebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut
menjadi beban penjual (bank) dan penjual (bank) akan mengurangi nilai akad.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan
secara tunai atau cicilan. Selain itu, dalam murabahah juga diperkenankan
adanya perbedaan dalam harga untuk cara pembayaran yang berbeda.
Bank dapat memberikan potongan
apabila nasabah:
a.
Mempercepat pembayaran cicilan; atau
b.
Melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo.
Harga yang disepakati dalam
murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan.[10]
Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka potongan itu merupakan hak
nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan
tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad.
Bank dapat meminta nasabah
menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang
telah dibeli dari bank. Bank dapat meminta kepada nasabah urbun sebagai
uang muka pembelian pada saat akad apabila kedua belah pihak bersepakat.Urbun
menjadi bagian pelunasan piutang murabahah apabila murabahah jadi dilaksanakan.
Tetapi apabila murabahah batal, urbun dikembalikan kepada nasabah setelah
dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan. Jika uang muka itu lebih
kecil dari kerugian bank maka bank dapat meminta tambahan dari nasabah.
Apabila nasabah tidak dapat memenuhi
piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, bank berhak mengenakan
denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Denda
diterapkan bagi nasabah mampu yang menunda pembayaran. Denda tersebut
didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah lebih disiplin
terhadap kewajibannya.[11]
Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang
berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (qardhul hasan).
E. APLIKASI
DALAM PERBANKAN
Mu’amalah jual beli murabahah
melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:[12]
1)
Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
Penentuan pihak yang
berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
Penentuan pihak yang
berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang
tersebut.
2)
Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.
3)
Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4)
Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
Mengadakan perjanjian yang
mengikat.
Membayar sejumlah jaminan
untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
Penentuan nisbat keuntungan
dalam masa janji.
Lembaga keuangan mengambil
jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5)
Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6) Penyerahan
dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7)
Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
Penentuan harga barang.
Penentuan biaya pengeluaran
yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
Penentuan nisbat keuntungan
(profit).
Penentuan syarat-syarat
pembayaran.
Penentuan jaminan-jaminan
yang dituntut.
Demikianlah secara umum langkah
proses jual beli Murabahah dan skema bai’ Murabahah kami lampirkan sebagai
berikut:[13]
Dari keterangan di atas dapat
disimpulkan bahwa jual beli murabahah ini terdiri dari:
i. Ada tiga
pihak yang terkait yaitu:
o Pemohon atau pemesan
barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
o Penjual barang kepada
lembaga keuangan.
o Lembaga keuangan yang
memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
ii. Ada dua
akad transaksi yaitu:
o Akad dari penjual
barang kepada lembaga keuangan.
o Akad dari lembaga
keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
iii. Ada tiga
janji yaitu:
o Janji dari lembaga
keuangan untuk membeli barang.
o Janji mengikat dari
lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
o Janji mengikat dari
pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
Dari sini jelaslah bahwa jual beli
murabahah ini adalah jenis akad berganda (al-’Uquud al-Murakkabah) yang
tersusun dari dua akad, tiga janji dan ada tiga pihak. [14]Setelah
meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua
akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak
sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena
keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja
disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu
janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan
nasabahnya.
Berdasarkan hal ini maka jual beli
ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat
sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: Belkan untuk saya barang dan saya
akan berikan untung kamu dengan sekian.
Hal ini karena barang pada akad
pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar
janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari
seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini
adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam
tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini.[15]
Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu
al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, s
Tidak ada komentar:
Posting Komentar