JUAL BELI
A. Pengertian jual beli
Secara etimologi jual beli adalah al-Bai’. At- tijarah
dan al-mubadalah yang berarti
menjual atau mengganti. Kata at- tijarah disebutkan oleh Allah dalam
firmannya :
$£JÏB….. öNßg»uZø%y—u‘ #uŽÅ ZpuŠÏRŸxtãur šcqã_ötƒ Zot»pgÏB `©9 u‘qç7s? ÇËÒÈ
“…..Rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan
diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak
akan merugi”( Q.S. Fathir:29)
Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “
menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. (Ghufron Ihsan, dkk, Fiqh
Muamalat, h. 67). secara terminologi terdapat beberapa definisi yang
dikemukakan oleh ulama fiqih, yaitu :
- Pertukaran harta dengan harta atas dasar
saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
-
Saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu
-
Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan
- Aqad
yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka terjadilah penukaran
hak milik secara tetap.
Dari beberapa definisi di atas dapat
dilihat bahwa substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama. Dapat
dipahami pula bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda
atau barang yang mempunyai nilai sukarela di antara kedua belah pihak.( Hendi
Suhendi, Fiqh Muamalah, h.68)
B.
Landasan hukum jual beli
Jual beli adalah suatu alat atau sarana yang menguntungkan antara satu pihak dengan
pihak yang lain, di mana antara sesama umat manusia dapat saling menolong dalam
mencukupi kebutuhan mereka. Untuk itu agama Islam pun mengaturnya dalam
al-Qur’an dan hadist. Terdapat beberapa ayat al-Quran dan sunnah rasulullah SAW
yang mengatur tentang jual beli, di antaranya:
- Q.S.
Al-Baqarah ayat 275 :
3… ¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qtÌh9$# 4 ..
“ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”
-
Q.S. Al-Baqarah ayat 198 :
}§øŠs9 öNà6ø‹n=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În§‘ 4 …
“ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia ( rezeki hasil
perniagaan) dari Tuhanmu”
-
Q.S. an-Nisa ayat 29
HwÎ)….. br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 …..
“ ….kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama suka di antara kamu….”
-
Rasulullah SAW bersabda :
سُئِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلّم : أَيُّ الكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ فَقَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَ كُلُّ
بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ (رواه البزّارو الحاكم )
“ Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai
pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah SAW menjawab : Usaha tangan manusia
sendiri dan setiap jual beli yang diberkati “ ( HR. Al-Bazzar dan Al-Hakim )
-
Rasulullah bersabda :
اِنَّمَا البَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (رواه
البيهقى)
“ Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka “
C. Hukum Jual Beli
Dilihat dari kandungan ayat-ayat dan redaksi hadist di atas,
para ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal jual beli adalah halal atau boleh.
Hal ini dikarenakan umat manusia sangat membutuhkan jual beli untuk memenuhi
kebutuhan makan, minum, pakaian tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya. Akan
tetapi, pada situasi tertentu hukum asal ini dapat berubah. ( Ghufron Insani,
dkk, Fiqih Muamalat, h. 70 ).
Karena hukum asalnya adalah halal, maka apabila ada salah
satu dari berbagai macam jual beli dianggap haram, maka yang menganggap
demikian harus menunjukkan dalil dan alasannya. Sebagaimana kaidah yang
menyatakan bahwa hukum muamalah itu boleh, sampai ada dalil yang
mengharamkannya. (Abdurrahman as-sa’di dkk, Fiqh Jual Beli :Terjemahan Fiqh
al-Bay wa asy syira, h.4 )
D. Rukun dan syarat jual beli.
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi
sehingga jual beli dapat dikatakan sah menurut syara’. Dalam menentukan rukun
dan syarat ini terdapat perbedaan antara ulama Hanafiyah dan jumhur ulama.
Yaitu
-
Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya satu yaitu ijab (ungkapan
membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari penjual).
Sedangkan orang yang berakad dan objek jual beli masuk kedalam syarat-syarat
jual beli (Ghufron Ihsan, Fiqh Muamalat, h.71).
-
Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat, yaitu adanya orang yang
berakad, adanya shigat ( lafal ijab kabul ), adanya objek jual beli yaitu
barang yang dibeli dan nilai tukar pengganti barang.
Adapun syarat-syaratnya terdapat beberapa perbedaan
dikalangan ulama. Yaitu :
a.
Madzhab Hanafiyah
Menurut fuqaha Hanafiyah ada empat macam syarat yang harus
dipenuhi dalam jual beli, yaitu :
-
Syarat akad ( syarat in ‘aqad)
Diantara syaratnya adalah orang yang melakukan akad harus
cakap bertindak hukum, adanya persesuaian antara ijab dan kabul dan berlangsung
dalam satu majlis akad, harus ada barang yang diperjual belikan, milik sendiri
dan dapat diserahterimakan.( Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah kontekstual,
h. 121)
-
Syarat shihhah
Syarat shihhah adalah jual beli tyersebut tidak boleh
mengandung enam unsur yang merusaknya, yaitu: jihalah (ketidak jelasan),
ikrah ( paksaan), tauqit (pembatasan waktu), gharar ( tipu
daya), dharar (aniaya) dan persyaratan yang merugikan pihak lain
-
Syarat nafadz ada dua, yaitu adanya unsur milkiyah atau wilayah dan benda yang
diperjualbelikan bukan hak orang lain.
-
Syarat luzum yakni tidak adanya khiyar yang memberikan pilihan kepada
masing-masing pihak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli. (Ghufron. A.
Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 122).
b.
Madzhab Malikiyah
Fuqoha malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli,
yaitu :
-
Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad ( ‘aqid ), adalah harus
mumayyiz, cakap hukum, berakal sehat dan pemilik barang
-
Syarat yang berkaitan dengan shigat ( lafal ijab kabul ). Adalah dilaksanakan
dalam satu majlis dan antara ijab dan kabul tidak terputus.
-
Syarat yang berkaitan dengan objeknya yaitu barang yang diperjual belikan tidak
dilarang oleh syara’, suci, bermanfaat, diketahui oleh ‘aqid dan dapat diserah
terimakan.
c.
Madzhab Syafi’yah
Menurut para fuqoha Syafi’iyah syaratnya adalah:
-
Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid yaitu baligh, berakal dan cakap hukum, tidak
dipaksa, Islam dalam hal jual belimushaf dan kitab hadist, tidak kafir harbi
dalam hal jual beli peralatan perang
-
Syarat yang berkaitan dengan ijab kabul,
yaitu : berupa percakapan dua pihak, pihak pertama menyatakan barang dan
harganya, qabul dinyatakan oleh pihak kedua, antara ijab dan kabul tidak
terputus dengan percakapan lain, kalimat qabul tidak berubah dengan qabul yang
baru, terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul, shigat akad tidak digantungkan
dengan sesuatu yang lain, dan tidak dibatasi oleh periode waktu tertentu.
-
Syarat yang berhubungan dengan objek jual beli adalah harus suci, dapat diserah
terimakan, dapat dimanfaatkan secara syara’, hak milik sendiri atau milik orang
lain dengan kuasa atasnya, berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan
secara jelas.
d.
Madzhab Hanabillah
Fuqaha Hanabilah merumuskan tiga kategori persyaratan,
yaitu:
- Yang
berhubungan dengan ‘aqid adalah harus baligh dan berakal sehat kecuali dalam
jual beli barang-barang yang ringan, dan harus ada kerelaan.
-
Syarat yang berkaitan dengan shigat yaitu harus berlangsung dalam satu majlis,
antara ijab dan qabul tidak terputus dan akadnya tidak dibatasi dengan periode
waktu tertentu.
-
Syarat yang berkaitan dengan objek adalah berupa mal atau harta, milik para
pihak, dapat diserahterimakan, dinyatakan secara jelas oleh para pihak, harga
dinyatakan secara jelas dan tidak ada halangan syara’.
Dari perbedaan pendapat dari ulama
keempat madzhab tersebut terdapat persamaan dan perbedaan. Namun dari semua itu
dapat dirumuskan bahwa syarat-syarat jual beli menurut jumhur ulama adalah :
a.
Syarat-syarat orang yang berakad, yaitu:
-
Berakal. Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang telah melakukan jual beli
itu harus telah baligh dan berakal. Maka, batal akad bagi anak kecil, orang
gila dan orang bodoh. (Hendi suhendi, Fiqh Muamalah,h.74) Allah
berfirman :
- Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# öä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ã—ö‘$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum
sempurna akalnya. harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan
Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil
harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Q.S. An-Nisa: 5)
-
Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
b.
Syarat yang terkait dengan ijab
kabul, yaitu:
-
Kabul sesuai dengan ijab
-
Dilakukan dalam satu majlis
c.
Syarat barang yang diperjualbelikan
-
Barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan
kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
-
Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu Barang seperti
bangkai, khamar dan darah tidak sah menjadi objek jual beli.
-
Milik seseorang
-
Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama
ketika akad berlangsung
d.
Syarat nilai tukar ( harga barang)
-
Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya
-
Boleh diserahkan pada waktu akad, dan apabila harga barang tersebut diserahkan
kemudian, maka waktu pembayarannya harus jelas
-
Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan, maka barang yang
dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’
E.
Macam-Macam jual beli
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a.
Ditinjau dari segi bendanya dapat
dibedakan menjadi:
- Jual
beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada
di hadapan penjual dan pembeli.
- Jual
beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus
disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad
berlangsung.
- Jual
beli benda yang tidak ada, Jual beli
seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b.
Ditinjau dari segi pelaku atau
subjek jual beli:
-
Dengan lisan, akad yang dilakukan dengan
lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
-
Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini
dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini
dibolehkan menurut syara’.
- Jual
beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul.
Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya.
Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah
rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam
Nawawi membolehkannya.
c.
Dinjau dari segi hukumnya,
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada
pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut
pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
-
Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
-
Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan
rukunnya.
Sedangkan fuqoha atau ulama
Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1.
Shahih, yaitu jual beli yang
memenuhi syarat dan rukunnya
2.
Bathil, adalah jual beli yang tidak
memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’.
Misalnya:
- Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’
al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang
tidak tampak.
- Jual
beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
- Jual
beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan
syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
- Jual
beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau
buku-buku bacaan porno.
-
Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti
menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.
3.
Fasid, yaitu jual beli yang secara
prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu
yang menghalangi keabsahannya. Misalnya
- jual
beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya
akad.
- Jual
beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang
sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
-
Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika
harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
- Jual
beli barang rampasan atau curian.
-
Menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Rasulullah bersabda:
لاَ يَسُوْمُ الرَّجُلُ عَلَى سَوْمِ
أَخِيْهِ (رواه البخارى و مسلم)
“ Tidak boleh seseorang menawar di atas tawaran saudaranya” (HR.Bukhari & muslim )
F.
Hikmah jual beli
Di syariatkannya jual beli tentu
mengandung hikmah dan manfaat bagi manusia, di antara hikmah dan manfaat itu
antara lain:
-
Menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang
lain
-
Penjual dan pembeli dapat memenuhi kenutuhannya atas dasar kerelaan dan suka
sama suka
-
Menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram
Tidak ada komentar:
Posting Komentar