PENGERTIAN HARTA
Harta
dalam bahasa arab disebut al-maal, yang
merupakan akar kata dari lafadz ___ yang berarti condong, cenderung, dan
miring.
Dalam
al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan
bahwa harta merupakan segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk
menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian unta, kambing, sapi, tanah, emas,
perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
-Ibnu
Asyr- mengatakan bahwa “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi
kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki
Sedangkan
harta (al-maal), menurut Hanafiyah
ialah sesuatu yang digandrungi oleh
tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.
Maksud
pendapat di atas definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai
dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak
dapat dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam katagori
sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah
termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi dapat
diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari. Begitu juga tidaklah
termasuk harta kekayaan sesuatu yang pada gahlibnya tidak dapat diambil
manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara kongrit dimiliki, seperti segenggam
tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
Dengan
demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang memenuhi
dua kriteria :
Pertama : Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil
manfaatnya menurut ghalib.
Kedua : Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara
kongkrit (a’ayan) seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang
Menurut Jumhur Ulama’ Fiqh selain
Hanafiyyah mendefinisikan konsep harta sebagai berikut :
Dari pengertian di atas, Jumhur
Ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat termasuk harta, sebab yang penting
adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa segala macam manfaat-manfaat
atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan
sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan
melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut Jumhur Ulama’
dalam pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda
yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan. Adapun hak, yang
ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus dari penguasaan sesuatu,
terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain lain.
Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan
lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah
segala sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai jual yang akan terus
ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya. Jika baru sebagian orang
saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain
dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan
berpegang pada konsep harta yang disampaikan Jumhur Ulama’ selain Hanafiyyah,
mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-manfaat itu adalah kesatuan dalam
katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak paten, hak mengarang,
hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta
kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat
dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut
yang kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di dalamnya pemilikan
semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau menganalogikan
konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat
terealisasi dengan menyerahkan benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang kongkrit, dan tidak berlaku jika hanya
kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.
II. UANG DAN FUNGSINYA SEBAGAI HARTA
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar
yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang
dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang
didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai
alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan
berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Beberapa
ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Uang dalam bahasa arab disebut
“Maal” asal katanya berarti condong, yang berarti meyondongkan mereka ke arah
yang menarik, dimana uang sendiri mempunyai daya penarik, yang terbuat dari
logam misalnya tembaga, emas, dan perak. Menurut fiqh ekonomi Umar RA
diriwayatkan, uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijadikan sebagai
alat pembayaran dalam muamalah manusia. Ekonomi islam secara jelas telah
membedakan antara money dan capital. Dalam islam, uang adalah public good/milik
masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif)
berarti mengurangi jumlah uang beredar. Implikasinya, proses pertukaran dalam
perekonomian terhambat. Di samping itu penumpukan uang/harta juga mendorong
manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas
beramal. Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik
terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya islam melarang penumpukan/penimbunan
harta, memonopoli kekayaan sebagaiman telah disebutkan dalam QS At-Taubah 34-35
yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib
Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka
menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan
emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah
kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”
Adapun fungsi uang dalam ekonomi konvensioan diantaranya :
a)
Sebagai alat pembayaran/ pertukaran (medium of exchange).
Uang digunakan sebagai alat
pembayaran dalam setiap transaksi barang dan jasa setiap hari. Dengan adanya
uang, kegiatan transaksi tukar- menukar barang jadi jauh lebih mudah.
b)
Sebagai alat penyimpan kekayaan (store of value).
Uang merupakan salah satu alat
penyimpan kekayaan, apabila harga barang di pasaran stabil, maka
menyimpan kekayaan dalam bentuk uang lebih menguntungkan daripada menyimpannya
dalam bentuk barang.
c)
Unit of account (satuan penghitungan).
Uang digunakan sebagai alat ukur
untuk mengukur besarnya nilai suatu barang atau jasa. Satuan nilai adalah
satuan ukuran yang menentukan besar kecilnya nilai barang. Dengan adanya uang,
nilai suatu barang dapat mudah dinyatakan. Misalnya dengan menunjukkan jumlah
uang yang yang diperlukan untuk meperolehi barang tersebut. Di samping itu bisa
juga untuk menentukkan nilai suatu barang dibandingkan dengan barang lainnya.
d) Sebagai
alat pembayaran tertunda (deferment payment)
Uang bisa digunakan sebagai alat
transaksi yang pembayarannya dilakukan pada waktu yang akan datang, misalnya
untuk membayar utang. Penggunaan uang sebagai alat perantaraan dapat mendorong
perkembangan perdagangan, karena penjual lebih yakin bahwa pembayarannya akan
sesuai dengan yang diharapkannya.
Sedangkan dalam ekonomi islam hanya
dikenal adanya 2 fungsi uang yaitu :
a)
Medium of Exchange (for transaction)
Dalam islam, fungsi pertama ini
jelas bahwa uang hanya berfungsi sebagai medium of exchange. Uang menjadi media
untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain, sehingga uang
tidak bisa dijadikan komoditi.
b)
Unit of Account
Fungsi kedua dari uang dalam islam
adalah sebagai unit of account. Imam Ghazali mengatakan bahwa dalam ekonomi
barter sekalipun uang tetap diperlukan. Seandainya uang tersebut tidak diterima
sebagai medium of exchange, uang tetap diperlukan sebagai unit of account
misalnya untuk mengetahui apakah 3 buah topi sama dengan 1 durian?
Ketika
teori konvensional memasukkan satu dari fungsi uang adalah sebagai store of
value dimana termasuk juga adanya motif money demand for speculation. Hal ini
tidak diperbolehkan dalam islam. Islam memperbolehkan uang untuk transaksi dan
untuk berjaga-jaga, namun menolak uang untuk spekulasi. Hal ini, menurut
Al-Ghazali sama saja dengan memenjarakan fungsi uang.
Dalam
konsep islam, uang tidak masuk dalam fungsi utility kita, karena sebenarnya
manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu sendiri, tetapi dari fungsi
uang.
Islam juga tidak mengenal konsep
time value of money. Akan tetapi, economic value of time yang dikenal dalam
islam. Maknanya adalah bahwa time akan mempunyai economic value jika waktu
tersebut ditambah dengan faktor produksi lain, sehingga menjadi capital dan
dapat menjadi return. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana
seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (doing the right things), dan
efisien (doing the thing right), maka akan semakin tinggi nilai waktunya.
III. HAK DAN MANFAAT HARTA
Madzhab
hanafi meringkas definisi harta pada sesuatu dzat yang bersifat materi. Dalam
arti memiliki bentuk yang dapat dilihat atau diraba. Dengan demikian hak dan
manfaat termasuk tidak termasuk dalam katagori harta, akan tetapi merupakan
kepemilikan.
Berbeda
dengan ulama fiqh selain hanafiyah. Menurut mereka, hak dan manfaat termasuk
harta. Dengan alasan, maksud dan tujuan memiliki sesuatu adalah karena terdapat
manfaat yang dapat diterima bukan karena dzatnya. Atas dasar adanya manfaat
tersebut manusia berusaha untuk menjaga dan menyimpan kemanfaatan yang terdapat
dalam dzat tersebut.
Yang
dimaksud dengan manfaat adalah faidah atau fungsi yang terdapat dalam suatu
dzat (benda, materi), seperti menempati rumah, mengendarai mobil, atau memakai
pakaian. Dalam arti, dengan memiliki mobil, maka manfaat yang bisa dirasakan
adalah kita bisa mengendarainya ke suatu tempat yang kita inginkan. Dengan
memiliki pakaian, maka kita bisa memakainya untuk menutup aurat dan seterusnya.
Ini adalah manfaat.
Jadi,
sebenarnya maksud dari memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang
kita dapat rasakan, bukan karena dzatnya. Jika misalnya, mobil yang kita miliki
sudah tidak bisa kita kendarai, tentunya mobil tersebut tidak akan kita pakai
lagi, walaupun secaram fisik mungkin masih terlihat bagus.
Sedangkan
hak adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh syara’ terhadap seseorang untuk
diberi kekhususan atas suatu kekuasaan atau suatu beban hokum tertentu. Artinya,
dengan adanya hak, seseorang memiliki kekuasaan atau kekebalan hukum atas
sesuatu yang diakui oleh syara’. Pemilik hak tersebut memiliki wewenang atau
kuasa penuh atas barang yang telah dibenarkan oleh syara’ untuknya. Terkadang
hak itu berhubungan dengan harta, seperti hak kepemilikan, hak untuk merawat
dan memelihara kebun, dan lainnya. Tapi, terkadang juga tidak berhubungan
dengan harta, seperti hak untuk merawat anak.
Manfaat
dan hak yang terkait dengan harta, ataupun hak yang tidak terkait dengan harta,
menurut pandangan hanafiyah tidak termasuk dalam katagori harta. Karena tidak
dimungkinkan untuk memiliki dan menyimpan dzatnya. Selain itu, manfaat dan hak
bersifat maknawi, tidak permanen dan akan berkurang secara bertahap.
Menurut
Jumhur Ulama, hak dan manfaat tetap merupakan harta, karena bisa dimungkinkan
untuk memiliki dan menjaganya, yaitu dengan menjaga asal dan sumbernya. Dengan
alasan, karena ada hak dan manfaatlah seseorang bermaksud untuk memiliki suatu
benda
(dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda.
(dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda.
Bedasarkan
penjelasan ini, dapat dipahami bahwa substansi seseorang memiliki benda (dzat,
materi) adalah karena adanya unsur manfaat, jika manfaat itu telah tiada, maka
ia akan cenderung untuk meninggalkannya.
Adanya
perbedaan pandangan ini mempunyai implikasi hukum tertentu, khususnya dalam hal
ghasab (menggunakan barang orang lain
tanpa izin pemilik), ijarah (sewa
menyewa) atau pun hukum waris. Menurut hanafiyah, orang yang meng-ghasab barang orang lain dalam kurun
waktu tertentu, kemudian barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, maka
orang yang meng-ghasab tersebut tidak
berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat yang telah dipakai. Dengan catatan,
barang tersebut masih utuh dan bukan milik anak yatim, barang waqf, atau barang
yang secara khusus dimaksudkan untuk dikomersilkan. Berbeda dengan jumhur
ulama, si peng-ghasab berkewajiban
untuk mengganti nilai manfaat selama ia menggunakan barang ghasab tersebut.
Menurut
hanafiyah, akad ijarah dengan
sendirinya akan selesai (berhenti) dengan meninggalnya pemilik barang yang
disewakan, karena manfaat bukan harta, sehingga dapat diwariskan. Mayoritas
ulama fiqh mengatakan, akad ijarah tetap berlangsung walaupun pemiliknya telah
meninggal dunia sampai batas waktu yang telah disepakati dalam akad.
Adapun
manfaat harta diantaranya :
1.
Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah
memerlukan alat-alat seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat,
bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah dan yang
lainnya.
2.
Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah.
3.
Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat (HR
Bukhari) :
Artinya : Bukanlah orang yang baik,
yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah
akhirat untuk urusan duniawi, sehingga seimbang diantara keduanya. Karena
masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.
4.
Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya.(QS An-Nisa
:9)
Artinya : Dan hendaklah takut kepada
Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak
yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab
itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar.
5.
Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menurut ilmu tanpa modal
akan tersa sulit, seperti sesorang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi bila
ia tidak memiliki biaya.
6.
Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu
dan tuan. Adanya orang kaya dan miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan
karena itu tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7.
Untuk menumbuhkan silahturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan sehingga
terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi
kebutuhan.
8.
Sebagai amanat (titipan)
IV. PEMBAGIAN JENIS-JENIS HARTA
Menurut Fuqaha’ harta dapat ditinjau dari beberapa bagian
yang setiap bagian memilik cirri-ciri khusus dan hukumnya tersendiri yang
berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan). Namun, pada
pembahasan ini hanya akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur yaitu sebagai
berikut :
1. Mal Mutaqawwim dan Ghair al-Mutaqawwim
a. Harta Mutaqawwim
ialah sesuatu yang memiliki nilai dari segi hukum syar’I”.
Yang dimaksud harta Mutaqawwim dalam
pembahasan ini ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan perkerjaan dan
dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Pemahaman tersebut bermakna bahwa tiap
pemanfaatan atas sesuatu berhubungan erat dengan ketentuan nilai positif dari
segi hukum, yang terkait pada cara perolehan maupun penggunaannya.
Misalnya, kerbau halal dimakan oleh
umat islam, tetapi, apabila kerbau tersebut disembelih tidak menurut syara’,
semisal dipukul. Maka daging kerbau tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena
cara penyembelihannya batal (tidak sah) menurut syara’.
b. Harta Ghair al-Mutaqawwim
Ialah sesuatu yang tidak memiliki
nilai dari segi hukum syar’i. Maksud pengertian harta Ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang
tidak dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk
memanfaatkannya.
Harta dalam pengertian ini, dilarang
oleh syara’ diambil manfaatnya, terkait jenis benda tersebut dan cara
memperolehnya maupun penggunaannya. Misalnya babi termasuk harta Ghair al-Mutaqawwim , karena jenisnya.
Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri temasuk Ghair al-Mutaqawwim, karena cara memperolehnya yang haram. Uang
disumbangkan untuk pembangunan tempat pelacuran, termasuk Ghair al-Mutaqawwim karena penggunaannya dilanggar syara’.
Kadang-kadang harta mutaqawwim diartikan dengan dzimah, yaitu sesuatu yang mempunyai
nilai, seperti pandangan fuqaha’ : sesuatu dinyatakan bermanfaat itu tidak
dinilai dengan sendirinya, tetapi ia dilihat dengan adanya akad sewa-menyewa
yang dimaksudkan untuk memenuhi keperluan.
2. Mal Mitsli dan Mal Qimi
a. Harta Mitsli
Ialah harta yang ada persamaannya
dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang
lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Dalam pembagian ini, harta
diartikan sebagai sesuatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar,
tidak ada perbedaan yang pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu
perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.
Harta mitsli terbagi atas empat bagian yaitu: harta yang ditakar, seperti
gandum, harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi, harta yang dihitung,
seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter, seperti kain, papan, dan
lain-lainnya.
b. Harta Qimi
Yaitu harta yang tidak mempunyai
persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut
kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon.
Dengan perkataan lain, pengertian
kedua jenis harta di atas ialah mitsli
berarti jenisnya mudah ditemukan atau diperoleh di pasaran (secara persis), dan qimi suatu benda yang jenisnya sulit didapatkan
serupanya secara persis, walau bisa ditemukan, tetapi jenisnya berbeda dalam
nilai harga yang sama. Jadi, harta yang ada duanya disebut mitsli dan harta yang tidak duanya secara tepat disebut qimi.
Perlu
diketahui bahwa harta yang dikatagorikan sebagai qimi ataupun mitsli tersebut
bersifat amat relatif dan kondisional. Artinya bisa saja di suatu tempat atau
negara yang satu menyebutnya qimi dan
di tempat yang lain menyebutnya mitsli
3. Mal Istihlak dan Mal Isti’mal
a. Harta istihlak
Yaitu sesuatu yang tidak dapat
diambil kegunaan dan manfaatnya, kecuali dengan menghabiskannya atau merusak
dzatnya. Harta dalam katagori ini ialah harta sekali pakai, artinya manfaat
dari benda tersebut hanya bisa digunakan sekali saja.
Harta istihlak dibagi menjadi dua, yaitu istihlak haqiqi dan istihlak
huquqi. Istihlak haqiqi yaitu suatu benda yang menjadi harta yang secara
jelas (nyata) dzatnya habis sekali digunakan. Misalnya makanan, minuman, kayu
bakar dan sebagainya.
Sedangkan istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah
digunakan, tetapi dzat nya masih ada. Misalnya uang, uang yang digunakan untuk
membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih
utuhm hanya pindah kepemilikan.
b. Harta Isti’mal
Ialah harta yang dapat digunakan
berulang kali, artinya wujud benda tersebut tidaklah habis atau musnah dalam
sekali pemakaian, seperti kebun, tempat tidur, baju, sepatu, dan lain
sebagainya.
Dengan demikian, perbedaan antara
dua jenis harta tersebut di atas, terletak pada dzat benda itu sendiri, mal
istihlak habis dzatnya dalam sekali pemakaian dan mal isti’mal tidak habis
dalam sekali pemanfaatan (bisa dipakai berulang-ulang).
4. Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul
a. Harta Manqul
Ialah segala macam sesuatu yang
dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain, baik tetap
pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan
perpindahan dan perubahan tersebut. Harta dalam katagori ini mencakup uang,
barang dagangan, macam-macam hewan, kendaraan, macam-macam benda yang ditimbang
dan diukur.
b. Harta Ghair al-Manqul atau Al-Aqar
Ialah segala sesuatu yang tetap
(harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu
tempat ke tempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik,
sawah, dan lainnya. Dalam ketentuan kitab undang-undang hukum perdata, istilah Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul (al-Aqar) diartikan dengan istilah benda
bergerak dan atau benda tetap
5. Mal ‘Ain dan Mal Dayn
a. Harta ‘Ain
Ialah harta yang berbentuk benda,
seperti rumah, pakaian, beras, kendaraan, dan yang lainnya. Harta ‘Ain dibagi
menjadi 2 bagian :
1. Harta ‘Ain Dzati Qimah
yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena
memiliki nilai. Harta ‘ain dzati qimah meliputi
:
a. Benda yang dianggap
harta yang boleh diambil manfaatnya.
b. Benda yang dianggap harta
yang tidak boleh diambil manfaatnya.
c. Benda yang dianggap
sebagai harta yang ada sebangsanya.
d. Benda yang dianggap harta
yang tidak ada atau sulit dicari sepadanya yang serupa.
e. Benda yang dianggap
harta berharga dan dapat dipindahkan (bergerak)
f. Benda yang dianggap
harta berharga dan tidak dapat dipisahkan (tetap)
2. Harta ‘Ain Ghayr Dzati
Qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak
memiliki nilai atau harga, misalnya sebiji beras.
b. Harta Dayn
Ialah kepemilikan atas suatu harta
dimana harta masih berada dalam tanggung jawab seseorang, artinya si pemilik
hanya memiliki harta tersebut, namun ia tidak memiliki wujudnya dikarenakan
berada dalam tanggungan orang lain.
Menurut Hanafiyah harta tidak dapat
dibagi menjadi harta ‘ain dan dayn karena konsep harta menurut
hanafiyah merupakan segala sesuatu yang berwujud (kongkrit), maka bagi sesuatu
yang tidak memiliki wujud riil
tidaklah dapat dianggap sebagai harta, semisal hutang. Hutang tidak dipandang
sebagai harta, tetapi hutang menurut Hanafiyah merupakan sifat pada tanggung
jawab (washf fii al-dzimmah)
6. Mal ‘Aini dan Mal Naf’I (manfaat)
a. Harta al- ‘Aini ialah
benda yang memiliki nilai dan berbentuk (berwujud), misalnya rumah, ternak, dan
lainnya.
b. Harta an-Nafi’ ialah a’radl yang berangsunr-angsur tumbuh
menurut perkembangan masa, oleh karena itu mal
al-Naf’I tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah
berpendapat bahwa harta ‘ain dan
harta naf’i memiliki perbedaan, dan
manfaat dianggap sebagai harta mutaqawwim
karena manfaat adalag maksud yang diharapkan dari kepemilikan suatu harta
benda.
7. Mal Mamluk, Mubah dan
Mahjur
a. Harta Mamluk
ialah sesuatu yang merupakan hak
milik baik milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan.
Harta mamluk terbagi menjadi dua
macam, yaitu :
1. Harta perorangan (mustaqih) yang berpautan dengan hak
bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta perorangan yang tidak
berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai sepasang
sepatu dapat digunakan kapan saja.
2. Harta pengkongsian antara
dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang
yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya
disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua
orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, semisal dua orang yang
berkongsi memiliki sebuah pabrik, maka pabrik tersebut di hasruslah dikelola
bersama.
b. Harta Mubah
Yaitu sesuatu yang pada asalnya
bukan merupakan hak milik perseorangan seperti air pada air mata, binatang
buruan darat, laut, pohon-pohon di lautan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia
boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang
mengambilnya akan menjadi pemiliknya, sesuai dengan kaidah : “Barang siapa yang
membebaskan harta yang tidak bertuan, maka ia menjadi pemiliknya”
c. Harta Mahjur
Yaitu harta yang dilarang oleh
syara’ untuk dimiliki sendiri dan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya
harta tersebut berbentuk wakaf ataupun benda yang dukhususkan untuk masyarakat
umum, seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
8.
Harta Yang Dapat Dibagi dan Harta Yang Tidak Dapat Dibagi
a. Harta yang dapat
dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah
harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan bila harta itu
dibagi-bagi, misalnya beras, jagung, tepung dan sebagainya.
b. Harta yang dapat dibagi (mal ghair al-qabil li al-qismah) ialah
harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut
dibagi-bagi misalnya gelas, kemeja, mesin dan sebagainya.
9.
Harta Pokok (ashl) dan Harta Hasil (tsamar)
a. Harta pokok ialah
harta yang memungkinkan darinya muncul harta lain
b. Harta hasil ialah harta yang
muncul dari harta lain (harta pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal,
misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah
bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya
merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah dan induknya yang melahirkan
disebut harta pokok.
10. Mal Khas dan Mal ‘Am
a. Harta khas ialah harta pribadi, tidak
bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui
pemiliknya.
b. Harta ‘Am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya
secara bersama-sama.
Harta yang dapat dikuasai (ikhraj) terbagi menjadi dua bagian yaitu :
a) Harta yang termasuk milik
perseorangan
b) Harta-harta yang tidak
dapat termasuk milik perseorangan
Harta yang dapat masuk menjadi milik
perseorangan, ada dua macam yaitu :
a. Harta yang bisa
menjadi milik perorangan, tetapi belum ada sebab pemilikan, misalnya binatang
buruan di hutan.
b. Harta yang bisa menjadi
milik perorangan dan sudah ada sebab kepemilikan misalnya ikan di sungai
diperoleh seseorang dengan cara memancing.
c. Harta yang tidak
masuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara’ tidak boleh dimiliki
sendiri, misalnya sungai, jalan raya dan yang lainnya.
Dari kesepuluh pembagian jenis-jenis
harta yang telah diuraikan di atas, secara global konsep harta dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Mal
at-Tam yaitu harta yang merupakan hak milik
sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun manfaatnya, pengertian
harta ini disebut juga Milk at-Tam
berarti kepemilikan sempurna atas unsure hak milik dan hak penggunaannya.
2. Mal
Ghair al-Tam yaitu harta yang bukan merupakan hak
milik sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun dari segi manfaatnya,
pengertian harta ini disebut juga Milk
an-Naqis yang berarti kepemilikan atas unsur harta hanya dari satu segi
saja. Semisal hak pakai rumah kontrakan dan sebagainya.
Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Begitupun dalam menjalankan bisnis, satu
hal yang sangat penting adalah masalah akad (perjanjian). Akad sebagai salah
satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat Islam yang banyak digunakan
dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus
ditegakkan isinya. Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 1 menyebutkan:
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
Dalam ayat ini ahli tafsir memberikan
penjelasan bahwa Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah
dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
A.
Pengertian Akad
Secara literal, akad berasal dari bahasa
arab yaitu عَقَدَ يَعْقِدُ عَقْدًا yang berarti perjanjian atau persetujuan.
Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan
antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan
hubungan ( الرّبْطُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ). Menurut para ulama fiqh, kata akad
didefenisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak
syariat yang ditetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan.
Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua
belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam
suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan Pertama, dalam ijab dan kabul.
Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek
perikatan.
Akad (ikatan,keputusan, atau penguatan)
atau perjanjian atau transaksi dapat dartikan sebagai kemitraan yang terbingkai
dengan nilai-nilai syariah.
Dalam istilah fiqh, secara umum akad
berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan bik yang muncul
dari satu pihak, seperti wakaf, talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua
pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai.
Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh kepada sesuatu.
Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh kepada sesuatu.
enurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
yang dimksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua
pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan hukum tertentu.
B.
Rukun Akad
Untuk
sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad.
Rukun akad tersebut adalah:
1.
Aqid (Orang yang Menyelenggarakan
Akad)
Aqid
adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan
yang akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan
pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi
oleh aqid antara lain :
a) Ahliyah
a) Ahliyah
Keduanya
memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka
akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal
disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal.
Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk;
antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan
menguntungkan.
b)
Wilayah
Wilayah
bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas
syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang
tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek
transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan
yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga
mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2. Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)
2. Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma'qud
‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
•
Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
• Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk
• Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk
ditransaksikan)
dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
•
Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan
dikemudian hari.
•
Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
•
Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
2.
Shighat, yaitu Ijab dan Qobul
Ijab
Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak
yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah
penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh
orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah
orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan
keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab
adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan
oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang
yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
•
adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
•
Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul
•
Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
•
Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak
menunjukkan
penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab
Qobul akan dinyatakan batal apabila :
•
penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
•
Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
•
Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya
telah
pisah
dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
•
Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakat
•
Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
C.
Syarat Akad
Disamping
rukun, syarat juga harus terpenuhi agar akad itu sah. Adapun syarat-syarat itu
adalah:
1.
Syarat terjadinya akad
Syarat
terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad
secara syara'. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus.
Syarat akad yang bersifat umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna
wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam
setiap akad adalah:
•
Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
•
Yang dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
•
Akad itu diperbolehkan syara'dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya
walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
•
Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan
amanah.
• Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.
• Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.
•
Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah
sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal.
Sedangkan
syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam
sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus
ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam
pernikahan.
2. Syarat Pelaksanaan akad
2. Syarat Pelaksanaan akad
Dalam
pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan
adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas
dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan
adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.
2.
Syarat Kepastian Akad (luzum)
Dasar
dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar
syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan.
E. Macam-Macam Akad
E. Macam-Macam Akad
Dalam
kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan
dalam berbagai variasai jenis-jenis akad. Secara garis besar adapun
pengelompokan macam-macam akad, anatara lain:
1.
Akad menurut tujuannya:
1.1.
Akad Tabarru, yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata
karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT. Atau dalam redaksi lain
akad Tabarru (gratuitous countract) adalah segala macam perjanjian yang
menyangkut nonprofit transaction (transaksi nirlaba). Akad yang termasuk dalam
kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, Hawalah,
Rahn, dan Qirad.
1.2. Akad Tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah telah dipenuhi semuanya. Atau dalam redaksi lain akad Tijari (conpensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiyah bittamlik serta mudharabah dan Musyaraqah.
1.2. Akad Tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah telah dipenuhi semuanya. Atau dalam redaksi lain akad Tijari (conpensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiyah bittamlik serta mudharabah dan Musyaraqah.
2.
Akad menurut keabsahannya:
2.1.
Akad Sahih (Valid Contract) yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya.
Akibat hukumnya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual kepada pembeli
dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
2.2
Akad Fasid (Voidable Contract) yaitu akad yang semua rukunnya terpenuhi, namun
ada syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual
kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat tersebut. Dengan kata lain akibat
hukumnya adalah Mauquf (terhenti dan tertahan untuk sementara).
2.3.
Akad Bathal (Void Contract) yaitu akad dimana salah satu rukunnya tidak
terpenuhi dan otomatis syaratnya juga tidak dapat terpenuhi. Akad sepeti ini
tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan harta (harta/uang) dan benda kepada
kedua belah pihak.
3. Akad menurut namanya:
3. Akad menurut namanya:
3.1.
Akad bernama (al-u’qud al-musamma)
Yang
dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh
pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya
dan tidak berlaku terhadap akad yang lain. Para fukaha berbeda pendapat tentang
jumlah akad bernama. Salah satu contoh menurut al-Kasani (w 587/1190) akad bernama
meliputi sebagai berikut:
•
Sewa menyewah (al-ijarah)
•
Pemesanan (al-istisnha)
•
Jual beli (al-bai’)\
•
Penanggugan (al-kafalah)
•
Pemindaan utang (al-hiwalah)
•
Pemberian kuasa (al-wakalah)
•
Perdamaian (ash-shulh)
•
Persekutuan (asy-syirkah)
•
Bagi hasil (al-mudharabah)
•
Hibah (al-hibah)
•
Gadai (ar-rahn)
•
Pengarapan tanah (al-muzaraah)
•
Pemeliharaan tanaman (al-mu’amalah/al-musaqah)
•
Penitipan (al-wadi’ah)
•
Pinjam pakai (al-‘ariyah)
•
Pembagian (al-qismah)
•
Wasiat-wasiat (al-washaya)
•
Perutangan (al-qardh)
3.2.
Akad tidak bernama (al-‘uqud gair al-musamma)
Akad
tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab
fiqh dibawah satu nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak bernama adalah
akad yang tidak ditentukan oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta tidak
ada pengaturan tersendiri mengenainya. Contoh akad tidak bernama adalah
perjanjian, penerbitan, periklanan, dan sebagainya.
4. Akad menurut kedudukannya:
4. Akad menurut kedudukannya:
4.1.
Akad Pokok (al-‘aqd al-ashli) adalah akad yang berdiri sendiri yang
keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Seperti: akad jual beli,
sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya.
4.2.
Akad asesoir (a-‘aqd at-tabi’) adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri
sendiri, tetapi tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya
atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Seperti: penanggungan (al-kafalah) dan
akad gadai (ar-rahn).
5. Akad dari segi unsur tempo di dalam akad:
5. Akad dari segi unsur tempo di dalam akad:
5.1.
Akad bertempo (al-‘aqd az-zamani) adalah akad yang di dalamnya unsur waktu
merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi
perjanjian. Seperti: akad sewa-menyewa, akad penitipan, akad simpan pakai, dan
sebagainya.
5.2. akad tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri) adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
5.2. akad tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri) adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
6.
Akad dari segi formalitasnya:
6.1.
Akad konsensual (al-‘aqd ar-radha’i)
Akad
konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada
kesepkatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Yang
termasuk akad konsensual seperti jual beli, sewa-menyewa, dan utang piutang.
6.2.
Akad formalitas (al-‘aqd asy-syakli)
Akad
formalitas adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang
ditentukan oleh pembuat akad, apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad
tidak sah. Misalnya adalah akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu
akad nikah dimana diantara formalitas yang disyariatkan adalah kehadiran dan
kesaksian dua orang saksi.
6.3.
Akad riil (al-‘aqd al-‘aini)
Akad
riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek
akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum
apabila belum dilaksanakan. Ada lima macam akad yang termasuk dalam kategori
akad jenis ini, yaitu hibah, pinkam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad
gadai. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah hukum Islam yang menyatakan
”Tabaru’ (donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan riil” (la yatimmu at-tabarru’
illa bi qabdh)
7.
Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’:
7.1.
Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak
dilarang untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal
jual beli, sewa menyewa, mudharabah, dan sebagainya.
7.2.
Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad
jual beli janin atau akad yang bertentangan dengan ahlak Islam (kesusilaan) dan
ketertiban umum seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan.
8.
Akad menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya:
8.1.
Akad mengikat (al-‘aqd al-lazim) adalah akad dimana apabila semua rukun dan
syaratnya telah terlaksana maka akad tersebut akan mengikat secara penuh dan
masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa perssetujuan pihak lain.
Akan ini dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu: Pertama, akad mengikat kedua
belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Kedua, akad
mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan
perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat
membatalkan tanpa persetujuan pihak pertama seperti akad kafalah (penanggungan)
dan akad gadai (ar-rahn).
8.2.
Akad tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan
perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
(1) akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka untuk di-faskh),
seperti akad Wakalah(pemberi kuasa), syirkah (persekutuan) dan sebagainya. (2) akad
yang tidak mengikat karena didalamnya terdapat khiyar bagi para pihak.
9. Akad menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan:
9.1. akad Nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut tersebut.
9. Akad menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan:
9.1. akad Nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut tersebut.
9.2.
akad Mauquf adalah kebalikan dari akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat
secara langsung dilaksankan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah,
tetapi masih tergantung (mauquf) kepada adanya retifikasi (ijasah) dari pihak
berkepentingan.
10. Akad menurut tanggungan:
10. Akad menurut tanggungan:
10.1.
‘aqd adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko atas kerusakan
barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan
akad tersebut, sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad
tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
10.2. ‘aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut merupakan amanah dari tangan penerima barang tersebut, sehingga dia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesegajaan dan melawan hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).
F. Cacat Akad
10.2. ‘aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut merupakan amanah dari tangan penerima barang tersebut, sehingga dia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesegajaan dan melawan hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).
F. Cacat Akad
Tidak
setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan.
Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini
karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan
(kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak
ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut :
1)
Paksaan / Intimidasi (Ikrah)
Ikrah
yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak
melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan
atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat
dan hilangnya kerelaan.
Suatu
kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat
hal-hal seperti, yaitu :
•
Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya.
•
Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan
terhadapnya.
•
Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.
•
Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk melindungi
dirinya.
Kalau
salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap
main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap kontrak yang
dilakukan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur
paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan menurut Abdul
Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa diianggap cacat hukum
dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.
2) Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
2) Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan
yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa
terjadi pada dua hal :
•
Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin
itu terbuat dari tembaga.
•
Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi
ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
3) Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
3) Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubun
secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak
wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih
tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya.
Di
kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :
•
Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
•
Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi
keridaan
tapi
bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil.
4) Penipuan (al-Khilabah)
4) Penipuan (al-Khilabah)
Penipuan
yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang
sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh.
5)
Penyesatan (al-Taqrir)
Menggunakan
rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya
menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak
mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh.
G. Kedudukan Akad
G. Kedudukan Akad
Dalam
fiqh muamalah akad memiliki kedudukan sebagai perbuatan hukum atau tindakan
hukum dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak diantaranya :
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).
Selanjutnya definisi akad yang dikutip
oleh Symasul Anwar yakni, “Pertemuan ijab (penawaran) yang datang dari salah
satu pihak dengan Qabul (akseptasi) yang diberikan oleh pihak lain secara sah
menurut hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.”
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Tindakan berupa perkataan yang bersifat
akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan
suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad
terbagi dua macam yakni :
a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul.
a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul.
b).
Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan
suatu hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di
pengadilan, pengakuan di depan sidang.
Berdasarkan pembagian tindakan hukum
tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum
dari akad dan oleh karena itu setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari
dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat
disebut sebagai akad.
Menurut Taufiq dalam uraiannya sama
dengan Az Zarqa tersebut, yakni Tindakan hukum (tasharruf) adalah semua yang
timbul dari seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun
perkataan yang mempunyai akibat hukum.
Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni :
a) Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang yang dijual dan lain-lain.
Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni :
a) Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang yang dijual dan lain-lain.
b) Tindakan hukum yang berupa perkataan
dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
• Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli.
• Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban.
• Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli.
• Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban.
Dari uraian tersebut dimuka bahwa
tindakan hukum lebih luas daripada akad dan perikatan sebab tindakan hukum
mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan juga mengikat dan tidak mengikat.
Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan yang berupa
perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk kepada pengertian umum, tidak
sebaliknya. Maka setiap akad adalah tindakan hukum dan tidak sebaliknya.
Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi (beri memberi).
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.
H. Berakhirnya Akad
Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi (beri memberi).
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.
H. Berakhirnya Akad
Berakhirnya akad bisa juga disebabkan
karena fasakh, kematian ataukarena tidak adanya izin pihak lain dalam akad yang
mauquf:
a)
Berakhirnya akad karena fasakh
Yang
menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni :
•
Fasakh karena fasadnya akad
Jika
suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harusdifasakhkan baik oleh pihak
yang berakad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia
fasakh, karena adanyahal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak.
• Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan pengadilan.
• Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal.
• Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barangdalam batas waktu tertentu.
• Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
b) Berakhirnya Akad Karena Kematian
Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut;
• Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur fuqahaselain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
• Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan pengadilan.
• Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal.
• Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barangdalam batas waktu tertentu.
• Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
b) Berakhirnya Akad Karena Kematian
Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut;
• Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur fuqahaselain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
• Al-Rahn (gadai) dan Kafalah
(penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka barang gadai harus
dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang,
makakematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah,
dilakukan pelunasan hutangnya.
• Syirkah dan wakalah. Keduanya
tergolong akad yang tidak lazimatas dua pihak. Oleh karena itu, kematian
seorang dari sejumlahorang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian
juga berlaku pada wakalah.
c) Berakhirnya Akad Karena Tidak adanya
izin pihak lain.
Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenangtidak mengijinkannya dan atau meninggal.
Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenangtidak mengijinkannya dan atau meninggal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar