PENGERTIAN
AL-QARDH
Secara
umum pinjaman merupakan pengalihan hak milik harta atas harta. dimana
pengalihan tersebut merupakan kaidah dari al-qardh. Qardh secara bahasa,
bermakna Al-Qath’u yang berarti memotong. Ini termasuk penggunaan ism
masdar untuk menggantikan ism maf`’ul. Harta yang disodorkan kepada
orang yang berhutang disebut Qardh, karena merupakan potongan dari harta
orang yang memberikan hutang. Kemudian kata itu digunakan sebagai bahasa kiasan
dalam keseharian yang berarti pinjam meminjam antar sesama. Salah seorang
penyair berkata, “Sesungguhnya orang kaya bersaudara dengan orang kaya,
kemudian mereka saling meminjamkan, sedangkan orang miskin tidak memiliki
saudara”
Menurut
Hukum Syara’, para ahli fiqh mendefinisikan Qardh sebagai berikut :
1.
Menurut
pengikut Madzhab Hanafi, Ibn Abidin mengatakan bahwa qardh adalah suatu
pinjaman atas apa yang dimiliki satu orang lalu diberikan kepada yang lain
kemudian dikembalikan dalam kepunyaannya dalam baik hati.
2.
Menurut
Madzhab Maliki, Qardh adalah Pembayaran dari sesuatu yang berharga untuk
pembayaran kembali tidak berbeda atau setimpal.
3.
Menurut
Madzhab Hanbali, Qardh adalah pembayaran uang ke seseorang siapa yang akan
memperoleh manfaat dengan itu dan kembalian sesuai dengan padanannya.
4.
Menurut
Madzhab Syafi’i, Qardh adalah Memindahkan kepemilikan sesuatu kepada seseorang,
disajikan ia perlu membayar kembali kepadanya.
Dilihat
dari definisi diatas, maka pinjaman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu
pinjaman seorang hamba untuk Tuhan-Nya dan pinjaman seorang muslim untuk saudaranya.
Pinjaman seorang muslim untuk Tuhannya yaitu pinjaman yang diberikan untuk
membantu saudaranya tanpa mengharap kembalinya barang tersebut karena
semata-mata untuk mengharapkan balasan di akhirat nanti. Hal ini mencakup infaq
untuk berjihad, infaq untuk anak-anak yatim, infaq untuk orang-orang jompo, dan
infaq untuk orang-orang miskin. Sedangkan pinjaman seorang muslim untuk
saudaranya adalah pinjaman yang sering kita lihat didalam kehidupan
bermasyarakat, yang mana seseorang meminjam dari temannya karena didorong oleh
adanya suatu kebutuhan dengan ketentuan mengganti/mengembalikan pinjaman
tersebut.
Secara
umum, arti qardh serupa dengan arti jual beli, karena qordh adalah pengalihan
hak milik harta atas harta. Qardh juga termasuk jenis salaf. Dalam literatul
fiqh salaf as sholih qardh dikatagorikan dalam akad tathowui` atau akad saling
bantu membantu dan bukan transaksi komersial.
III.
TINJAUAN FIQH MUAMALAH TERHADAP AL-QARDH (DANA
TALANGAN)
A.
Aspek Al-Qur’an
1.
Al-Baqarah : 245
“Siapakah
yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan
hartanya di jalan Allah), maka Allah akan meperlipat gandakan pembayaran
kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan
melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan” (Al-Baqarah : 245)
1.
Al-Maidah
: 2
“Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan
tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada
Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya.” (Al-Maidah : 2)
3.
al-Hadid ayat 11.
“
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan
melipatgandakan (balasan) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala
yang banyak” (al-Hadid ayat 11)
B.
Aspek As-Sunnah
Dari Anas
ra, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda :
”Pada
malam peristiwa Isra’ aku melihat di pintu surga tertulis ‘shadaqoh (akan
diganti) dengan 10 kali lipat, sedangkan Qardh dengan 18 kali lipat, aku
berkata : “Wahai jibril, mengapa Qardh lebih utama dari shadaqoh?’ ia menjawab
“karena ketika meminta, peminta tersebut memiliki sesuatu, sementara ketika
berutang, orang tersebut tidak berutang kecuali karena kebutuhan”. (HR. Ibnu Majah dan Baihaqi dari Abas bin Malik ra,
Thabrani dan Baihaqi meriwayatkan hadits serupa dari Abu Umamah ra).
Dari Ibnu
Mas`ud meriwatkan bahwa nabi Muhammad SAW bersabda :
“bukan
seorang muslim (mereka) yang meminjamkan muslim (lainnya) dua kali kecuali yang
satunya adalah ( senilai ) shodaqoh”. (HR
Ibnu Majah)
C.
Aspek Ijma’
Secara
ijma’ juga dinyatakan bahwa Qardh diperbolehkan. Qardh bersifat mandub
(dianjurkan) bagi muqridh (orang yang mengutangi) dan mubah bagi muqtaridh
(orang yang berutang).
Madzhab
Hanafi berpendapat, Qardh dibenarkan pada harta yang memiliki kesepadanan,
yaitu harta yang perbedaan nilainya tidak meyolok, seperti barang-barang yang
ditakar, ditimbang, biji-bijian yang memiliki ukuran serupa seperti kelapa,
telur. Tidak diperbolehkan melakukan qardh atas harta yang tidak memiliki
kesepadanan, baik yang bernilai seperti binatang, kayu dan agrarian, dan harta
biji-bijian yang memiliki perbedaan menyolok, karena tidak mungkin
mengembalikan dengan semisalnya. Karena menurut golongan ini, bahwa pinjam
meminjam dengan sesuatu yang tidak dapat digantikan dengan yang serupa tidak
diperbolehkan.
Hak
kepemilikan dalam Qardh menurut Abu Hanifah dan Muhammad – berlaku melalui Qabdh
(penyerahan). Jika seseorang berhutang satu mud gandum dan sudah terjadi qabdh,
maka ia berhak menggunakan dan mengembalikan dengan semisalnya meskipun muqridh
meminta pengembalian gandum itu sendiri, karena gandum itu bukan lagi miliki muqridh.
Yang menjadi tanggung jawab muqtaridh adalah gandum yang semisalnya dan
bukan gandum yang telah diutangnya, meskipun Qardh itu berlangsung.
Madzhab
Maliki, Syafi’i, dan Hanbali berpendapat, diperbolehkan melakukan qardh atas
semua harta yang bisa diperjualbelikan objek salam, baik ditakar, atau
ditimbang, seperti emas, perak dan makanan atau dari harta yang bernilai,
seperti barang-barang dagangan, binatang dan sebagainya, seperti harta-harta,
biji-bijian.
Madzhab
Imam Malik menambahkan definisi ini dengan beberapa point berikut :
1.
Hendaklah
barang yang dipinjamkan mempunyai nilai jual, dengan begitu tidak dibenarkan
meminjamkan sepotong api.
2.
Orang
yang meminjam harus mengembalikan barang pinjamannya.
3.
Pengembalian
pinjaman hendaklah diberikan sesudah menerima pinjamannya.
4.
Hendaklah
orang yang memberikan pinjaman tersebut berniat untuk memberikan manfaat kepada
orang yang meminjam saja, dan tidak berniat untuk mendapatkan keuntungan
pribadi maupun untuk mendapatkan keuntungan bersama.
5.
Tidak
boleh meminjamkan alat fital seorang sahaya perempuan kepada seseorang untuk
dimanfaatkan
6.
Hendaklah
orang yang meminjam sesuatu harus menjamin bahwa ia akan mengembalikan
pinjamannya, sehingga dalam hal ini masjid dan madrasah tidak bisa dipinjamkan.
Setelah
kita memberikan pinjaman kepada seseorang (saudaranya), hendaklah pinjaman
tersebut mengandung unsur kebaikan, begitu juga apabila pinjaman tersebut telah
jatuh tempo. Ber-ihsan dalam menagih hutang (Qardh), adakalanya
dilakukan dengan menganggapnya lunas, semua maupun sebagiannya, atau dengan
mengundurkan waktu pembayaran tersebut yang telah jatuh tempo, ataupun dengan
mengurangi pelbagai persyaratan pembayaran yang telah memberatkan. Semua itu
sangat dianjurkan, Sebagaimana dalam Sabda Nabi SAW :
“Rahmat
Allah tercurah atas siapa-siapa yang’mudah’ dalam membeli, ‘mudah’ dalam
menjual, ‘mudah dalam membayar dan ‘mudah’ dalam menagih”
Rasulullah
SAW, juga pernah menyebutkan tentang seorang laki-laki yang masa lalunya penuh
dengan perbuatan dosa, yang ketika dihisab, ternyata tidak memiliki cacatan
amal kebaikan yang pernah ia lakukan. Maka ditanyakan kepadanya, “Apakah anda
tidak pernah melakukan kebaikan apapun ? “Tidak, “jawabnya. “Tetapi saya dahulu
adalah seorang pemberi hutang, dan senantiasa mengingatkan kepada para pegawai
saya : ‘Perlakukanlah yang mampu diantara para penghutang dengan perlakuan yang
baik, dan undurkanlah waktu pembayaran bagi yang dalam kesusahan’. (Dalam versi
lain : ‘….dan maafkanlah (yakni anggaplah hutangnya lunas) bagi yang dalam
kesusahan’). Lalu Allah SWT pun menghapus dosa-dosanya dan mengampuninya.
Seandainya
semua masyarakat mengetahui hal demikian, tidak akan terjadi hal-hal yang dapat
mengakibatkan seseorang (pemilik harta) berbuat zhalim kepada orang yang
membutuhkan bantuan. Apalagi ditengah kondisi krisis sekarang ini. Dimana, kita
sebagai orang yang memiliki kelebihan harta hendaklah menolong saudara-saudara
kita yang telah dilanda kesusahan dengan memberikan bantuan berupa pinjaman
yang ihsan, bahkan tidak sekadar itu dapat memberikan Qardhul Hasan
(menginfakkan, mensedeqahkan sebagaian hartanya tanpa mengaharapkan imbalan
seperserpun tetapi hanya mengharap ridha Allah SWT). Tetapi kalau hanya
memikirkan kehidupan duniawi manusia takluput akan kerakusan harta, yang
diingat hanyalah berapa besar kelebihan dari kembalian harta yang telah
dipinjamkan.
D.
Hukum Qardh
Dalam
panjelasan tiga aspek fiqh di atas, Para ulama telah menyepakati bahwa qardh
boleh dilakukan, kesepakatan ulama ini didasari tabiat manusia yang tidak bisa
hidup tanpa pertolongan dan bantuan saudaranya. Tidak seorangpun yang memiliki
segala barang yang ia butuhkan. Oleh karena itu, pinjam-meminjam sudah menjadi
satu bagian dari kehidupan didunia ini. Dan Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan segenap kebutuhan ummatnya.
a.
Rukun dan Syarat
(1)
Rukun :
-
Muqridh (pemilik barang)
-
Muqtaridh (yang mendapat barang atau peminjam)
-
Ijab qobul
-
Qardh (barang yang dipinjamkan)
(2) Syarat
sah qardh :
-
Qardh atau barang yang dipinjamkan harus barang yang memiliki manfaat, tidak
sah jika tidak ada kemungkinan pemanfaatan karena qardh adalah akad terhadap
harta.
-
Akad qardh tidak dapat terlaksana kecuali dengan ijab dan qobul seperti halnya
dalam jual beli.
b.
Hal-Hal Yang Diperbolehkan Dalam Qardh
Mazhab
Maliki berpendapat, hak kepemilikan dalam shadaqah dan ariyah berlangsung
dengan transakasi, meski tidak menjadi qabdh atas harta. Muqtaridh
diperbolehkan mengembalikan harta semisal yang telah dihutang dan boleh juga
mengembalikan harta yang dihutang itu sendiri. Baik harta itu memiliki
kesepadanan atau tidak, selama tidak mengalami perubahan; bertambah atau berkurang,
jika berubah maka harus mengembalikan harta yang semisalnya.
Mazhab
Syafi’I menurut riwayat yang paling shahih dan mazhab Hambali berpendapat, hak
milik dalam qardh berlangsung dengan qabdh. Menurut Syafi’I muqtaridh
mengembalikan harta yang semisal manakala harta yang dihutang adalah harta yang
sepadan, karena yang demikian itu lebih dekat dengan kewajibannya dan jika yang
dihutang adalah yang memiliki nilai, ia mengembalikan dengan bentuk yang
semisal, karena Rasulullah saw telah berutang unta usia bikari lalu
mengembalikan unta usia ruba’iyah, seraya berkata “sesunguhnya sebaik-baik kamu
adalah yang paling baik dalam membayar utang”.
Hanabilah
mengharuskan pemgembalian harta semisal jika yang dihutang adalah harta yang
bisa ditakar dan ditimbang, sebagaimana kesepakatan di kalangan para ahli
fiqih. Sedangkan jika obyek qardh bukan harta yang ditakar dan ditimbang, maka
ada dua versi : harus dikembalikan nilainya pada saat terjadi qardh, atau harus
dekembalikan semisalnya dengan kesamaan sifat yang mungkin.
c.
Hukum Qardh Yang Mendatangkan Keuntungan
Mazhab
Hanafi dalam pendapatnya yang paling kuat menyatakan bahwa qardh yang
mendatangkan keuntungan hukumnya haram, jika keuntungan tersebut disepakati
sebelumnya. Jika belum disepakati sebelumnya dan bukan merupakan tradisi yang
biasa berlaku, maka tidak mengapa. Begitu juga hukum hadiah bagi muqridh. Jika
ada dalam persyaratan maka dimakruhkan, kalau tidak maka tidak makruh.
Mazhab
Maliki : tidak diperbolehkan mengambil manfaat dari harta muqtaridh, seperti
menaiki untanya dan makan di rumahnya karena hutang tersebut dan bukan karena
penghormatan dan semisalnya. Sebagaimana hadiah dari muqtaridh diharamkan bagi
pemilik harta jika tujuannya untuk penundaan pembayaran hutang dan sebagainya,
Mazhab
Syafi’I dan Hanabilah berpendapat bahwa qardh yang mendatangkan keuntungan
tidak diperbolehkan, seperti mengutangkan seribu dinar dengan syarat rumah
orang tersebut dijual kepadanya. Atau dengan syarat dikembalikan seribu dinar
dari mutu yang lebih baik atau dikembaliakan lebih banyak dari itu. Karena Nabi
SAW melarang hutang bersama jual beli.
Menurut
Dr. Wahbah Zuhaili jika seseorang mengutangkan kepada orang lain tanpa ada
persyaratan tertentu, lalu orang tersebut membayarnya dari jenis yang lebih
baik atau jenis yang lebih banyak, atau menjual rumahnya kepada pemberi hutang,
diperbolehkan dan muqridh boleh mengambilnya berdasar pada riwayat Abi
Rofii’bahwa ia berkata “ Rasulullah Saw pernah berutang unta seusia bikari
kepada seseorang lalu Rasulullah mendapat unta sedekah. Lalu beliau menyuruh
saya untuk membayar kepada orang tersebut seekor unta bikari. Saya berkata “ ya
Rasul, saya tidak mendapati kecuali unta berusia Rubai’yah dari jenis yang
bagus, Rasulullah bersabda “berikanlah kepadanya, sesungguhnya sebaik baik kamu
adalah yang paling baik membayar hutang”.
Ringkasnya,
Qardh diperbolehkan dengan dua syarat.
(1)
Tidak mendatangkan keuntungan. Jika keuntungan tersebut untuk muqridh, maka
para ulama sudah bersepakat bahwa ia tidak diperbolehkan. Karena ada larangan
dari syariat dan karena sudah keluar dari jalur kebajikan, jika untuk
muqtaridh, maka diperbolehkan. Dan jika untuk mereka berdua, tidak boleh,
kecuali jika sangat dibutuhkan. Akan tetapi ada perbedaan pendapat dalam
mengartikan “sangat dibutuhkan”.
(2)
Tidak dibarengi denagan transaksi lain, seperti jual beli dan lainnya. Adapun
hadiah dari pihak muqtaridh, maka menurut Malikiah tidak boleh diterima oleh
Muqridh karena mengarah pada tanbahan atas pengunduran. Sedangkan Jumhur ulama
membolehkan jika bukan merupakan kesepakatan. Sebagaimana diperbolehkan jika
antara Muqridh dan Muqtaridh ada hubungan yang menjadi fakor pemberian hadiah
dan bukan karena hutang tersebut.
Dari sini,
menurut jumhur ahli fiqih, diperbolehkan melakukan qardh atas semua benda yang
boleh diperjualbelikan kecuali manusia, dan tidak dibenarkan melakukan qardh
atas manfaat/jasa, berbeda dengan pendapat Ibnu Taimiyah, seperti membantu
memanen sehari dengan imbalan ia akan dibantu memenen sehari, atau menempoati
rumah orang lain dengan imbalan orang tersebut menempati rumahnya.
IV.
APLIKASI QARDH DALAM PERBANKAN SYARI’AH DI INDONESIA.
Qardh
adalah pinjaman uang. Aplikasi qardh dalam perbankan antara lain untuk pinjaman
talangan haji, dimana nasabah calon haji diberikan pinjaman haji. Nasabah akan
melunasinya sebelum keberangkatannya ke haji. Atas jasa bank memberikan dana
talangan tersebut bank dapat memperoleh fee (ujrah).
Contoh
lain penggunaan skema qardh dalam perbankan syariah adalah pemberian dana
talangan/pinjaman uang kepada nasabah premium yang memiliki deposito di bank tersebut
guna mengatasi kesulitan likuiditas nasabah tersebut. Pinjaman uang tersebut
dijamin dengan deposit yang dimiliki nasabah. Atas jasa peminjaman dana bank
memperoleh fee (ujrah) yang besarnya tidak tergantung pada jumlah dana yang di
pinjamkan.
Dalam
perbankan syariah, akad qardh biasanya diterapkan sebagai berikut :
(1)
Sebagai produk pelengkap kepada nasabah yang telah terbukti loyalitas dan
bonafiditasnya yang membutukkan dana talangan segera untuk masa yang relative
pendek. Nasabah tersebut akan mengembalikan secepatnya sejumlah uang yang
dipinjamnya itu.
(2)
Sebagai fasilitas nasabah yang memerlukan dana cepat sedangkan ia tidak bisa
menarik dananya karena, misalnya, tersimpan dalam bentuk deposito.
(3)
Sebagai produk untuk menyumbang usaha yang sangat kecil, atau membantu sector
social. Guna pemenuhan skema khusus ini telah dikenal suatu produk khusus yaitu
qardhul hasan.
Sifat
qardh tidak memberi keuntungan financial. Karena itu, pendanaan qardh dapat
diambil menurut kategori berikut :
(1)
Qardh yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan
berjangka pendek, seperti talangan danda di atas, dapat diambilkan dari modal
bank.
(2)
Qardh yang diperlukan untuk membantu usaha sangat kecil dan keperluan
social, dapat bersumber dari dana zakat, infaq, dan shadaqah, dan juga dari
pendapatan bank yang dikategorikan seperti jasa nostro di bank korespondeng
yang konvensional, bunga atas jaminan L/C di bank asing, dan sebagainya.
Manfaat
yang didapat oleh bank dari transaksi qardh adalah bahwa biaya andministrasi
utang dibayar oleh nasabah. Manfaat lainnya berupa manfaat nonfinansial, yaitu
kepercayaan dan loyalitas nasabah kepada bank tersebut. Risiko dalam qardh
terhitung tinggi karena ia dianggap pembiayaan yang tidak ditutup dengan
jaminan.
Manfaat
akad qardh terhitung sangat banyak sekali diantaranya :
(1)
Memungkinkan nasabah yang sedang dalam kesulitan mendesak untuk mendapat
talangan jangka pendek.
(2)
Qardhul hasan juga merupakan salah satu ciri pembeda bank syariah dengan bank
konvensional yang didalamnya terkandung misi sosial, disamping misi komersial.
(3)
Adanya misi sosial kemasyarakatan ini akan meningkatkan citra baik dan
meningkatkan loyalitas masyarakat terhadap bank syariah.
Pengertian Riba gambar ribaPengertian
Riba menurut etimologi adalah kelebihan atau tambahan, riba artinya kelebihan
pembayaran tanpa ganti rugi atau imbalan, yang disyaratkan bagis salah seorang
dari dua orang yang melakukan transaksi Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada
si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian
persen tambahnya B. Dasar Hukum Keharaman Riba Sebagai dasar riba dapat
diperhatikan Firman Allah SWT, sebagai berikut; وَاَحَلَ
اللهُ اْلبَيْعَ وَحَرَّ مَ الرِّبوا. (البقرة:275) Artinya. “Sesungguhnya Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba”. (Al- Baqoroh / 2:275) Riba hanyalah berlaku pada benda –
benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak diperbolehkan
menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika harganya sebanding
dan dilakukan dengan kontan. Tidak diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana
barang tersebut belum berada ditangannya (misal A membeli barang tersebut
kepada si B) Tidak diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih
hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang
harga nilainya tidak sebanding. Demikian pula menjual makanan, tidak
diperbolehkan dijual dengan makanan sejenis, kecuali jika sebanding harganya.
Tidak diperbolehkan pula jual beli barang sejenis daripadanya dengan barang
yang tidak seimbang harganya. Tidak diperbolehkan pula beli barang yang belum
menjadi miliknya, misalnya menjual burung yang bebas terbang di udara dan lain
– lain Pada ayat ini juga disebutkaan: يَآيُّهَاالَّذِيْنَ
آمَنُوْ الاَتَأْ كُلُوالرِّ بوااضْعَافًا مُّضَعَفَةًوَّاتَّقُوْ اللهَ
لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (ال عمران:13)
Artinya : “Hai orang – orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan
berlipat ganda dan bertaqwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapatkan
keberuntungan” (Ali imran/3 : 130) Dalam sebuah hadits dijelaskan konsekuensi
kaharaman itu, terdapat sanski sebagaimana sabda Rasulullah SAW. لَعَنَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمَ آكِلَ
الرِّبَا رَمُوَ كِلَهُ وَكَاتِبَهُ وَشَاهِدَيْهِ وَقَلَ هُمْ سَوَاءٌ ( رواه
مسلم عن جابر) Artinya : “Dari
Jabir, Rasulullah SAW. Melaknat yang memakan riba, yang mewakilinya, penulisnya
dan kedua saksinya dan Rasul berkata, mereka semua berdosa.” (Riwayat Muslim
dari Jabir) Setiap orang Islam dan mukalaf sebelum terlibat dalam satu urusan,
terlebih dahulu wajib mengetahui apa – apa yang dihalalkan dan diharamkan
Allah. Sesungguhnya Allah telah membebani kita dengan tugas – tugas mengabdi.
Oleh karena itu,, mau tidak mau harus memelihara apa yang ditugaskan kepada
kita. Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba Allah telah
mengayidi kata jual beli dengan alat memakrifatkan, yakni اَلْ dan اَلْبَيْعُ Jual beli ini diikat oleh beberapa ikatan
– ikatan, syarat, dan rukun yang harus dipelihara semua. Jadi orang yang hendak
jual beli wajib mengetahui hal – hal tersebut. Jika tidak, jelas akan makan
riba, mau tidak mau Rasulullah telah bersabda. “Pedagang yang jujur, besok pada
hari kiamat digiring bersama dengan orang – orang yang jujur dan orang – orang
yang mati sahid”. Semua itu tidak lain kecuali karena sesuatu yang dia lakukan
yaitu berperang melawan hawa nafsu dan keinginan (yang menyeleweng) serta
memaksa nafsunya untuk menjalankan akad sesuai dengan apa yang diperintahkan
Allah. Jika tidak, maka tak samar lagi pasti mendapat apa yang akan diancamkan
Allah kepada orang yang melanggar batas – batas Kemudian sesungguhnya semua
akad, seperti akad ijarah (persewaaan), qirad (andil berdagang), rohn (gode),
wakalah, wadiah, ariah, sirkah, musaqah, dan sebagainya, wajib dijaga syarat –
syarat dan rukun – rukunnya Akad nikah (malah) membutuhkan kehati – hatian dan
ketelitian untuk menghindari kejadian yang ada kaitannya dengan
ketidaksempurnaan syarat dan rukun (jika tidak sah nikahnya lantas istri disetubuhi,
maka berarti berzinah) C. Macam-Macam Riba Menurut para ulama, riba ada empat
macam yaitu: Riba Fadli yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang
sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya satu ekor kambing
ditukar dengan satu ekor kambing yang berbeda besarnya satu gram emas ditukar
dengan seperempat gram emas dengan kadar yang sama. Sabda Rasul SAW عَنْ آبِى سَعِيْدٍ ن الْجُدْرِيِّ اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَبِيْعُوْاالذَّهَبِ اِلاَّ مِثْلاً
بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِفُّوْا بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ وَلاَتَبِعُواالْوَرِقَ
بِالْوَرِقِ اِلاَّ مِثْلاً بِمِثْلٍ وَلاَ تُشِقُوْابَعْضَهَاعَلَى بَعْضٍ
وَلاَتَبِعُوْامِنْهَاغَائِبًابِنَاجِزٍ ( متفق عليه) Artinya: “ Dari Abi Said Al Khudry, sesungguhnya Rasulullah
SAW. Telah bersabda, “Janganlah kamu jual emas dengan emas kecuali dalam
timbangan yang sama dan janganlah kamu tambah sebagian atas sebagiannya dan
janganlah kamu jual uang kertas dengan uang kertas kecuali dalam nilai yang
sama, dan jangan kamu tambah sebagian atas sebagiannya, dan janganlah kamu jual
barang yang nyata (riil) dengan yang abstrak (ghaib).” (riwayat Bukhari dan
muslim) Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa
kepada riba nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata Riba Qardhi yaitu riba
yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam dengan
syarat keuntungan (bunga) dari orang yang meminjam atau yang berhutang.
Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta)
kemudian diharuskan membayarnya Rp. 1.300.000,- (satu juta Tiga ratus ribu
rupiah) Terhadap bentuk transsaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi
riba, seperti sabda Rasulullah Saw.: كُلُّ قَرْضٍ
جَرَّ مَنْفَعَةً فَهُوَرِبًا (رواه البيهقى) Artinya “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.”
(Riwayat Baihaqi) Riba Nasi’ah ialah tambahan yang disyaratkan oleh orang yang
mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan
(penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya si A meminjam uang Rp. 1.000.000,-
kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikannya satu bulan, setelah jatuh
tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi
memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya. Contoh lain,
si B menawarkan kepada si A untuk membayar utangnya sekarang atau minta ditunda
dengan memberikan tambahan. Mengenai hal ini Rasulullah SAW. Menegaskan bahwa: عَنْ سَمَرَةِ بْنِ جُنْدُبٍ اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّىاللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهى عَنْ بَيْعِ الَحَيَوَانِ بِالْحَيَوَانِ نَسِيْئَةً
(رواه الخمسة وصححه الترمدى وابن الجاروه) Artinya: Dari Samrah bin Jundub, sesungguhnya Nabi Muhammad
saw. Telah melarang jual beli hewan dengan hewan dengan bertenggang waktu.”
(Riwayat Imam Lima dan dishahihkan oleh Turmudzi dan Ibnu Jarud) Riba Yad,
yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima
antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras.
Setelah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum
ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya.
Sabda Rasulullah SAW. الذَّ هَبُ بِالذَّهَبٍ
وَاْْلفِضَّةُ بِالْفِضَّةِوَالْبُرُّ بِالْبُرِّ وَالشَّعِيْرُبِالشَّعِيْرِ
وَالتَّمْرُبِالتَّمْرِ وَالْمِلْحُ بِالْمِلْحِ مِثْلاً بِمِثْلٍ
سَوَاءًبِسَوَاءٍ يَدًابِيَدٍفَاِذَااَجْتَلَفَتْ هَذِهِ اْلاَصْنَافُ فَبِعُوْ
اكَيْفَ شِئْتُمْ اِذَاكَانَ يَدًا بِيَدٍ (رواه مسلم) Artinya: “Emas dengan emas, perak dengan perak, beras dengan
beras, gandum dengan gandum, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaknya
serupa dan sama banyaknya, tunai dengan tunai, apabila berlainan jenisnya boleh
kamu menjual sekehendamu asal tunai”. (Riwayat Muslim) D. Sebab-Sebab
Diharamkannya Riba Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut
dapat merusak dan membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan
orang lain Merusak Dan Membayakan Diri Sendiri Orang yang melakukan riba akan
selalu menghitung – hitung yang banyak yang akan diperoleh dari orang yang
meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan – angan yang demikian itu akan
mengakibatkan dirinya selalu was – was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan
itu tidak dapat kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar. Jika orang
yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu
tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak akan memberi
manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
Merugikan Dan Menyengsarakan Orang Lain Orang yang meminjam uang kepada orang
lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak. Karena tidak ada jalan
lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima
pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya
bisa mengembalikan pinjaman tepat pada waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat
mengembalikan pinjaman tepat pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya
bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini
akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.Haram melakukan
(mempengaruhi) minat pembeli dengan maksud agar tidak membeli, kemudian disuruh
membeli barang orang yang memepengaruhi tadi. Apabila sesudah barang ditetapkan
(sudah sama – sama menyetujui antara penjual dan pembeli). Juga tidak boleh
mempengaruhi penjual dengan maksud agar berpindah menjual kepadanya. Apabila
jika dilakukan ketika masih hiyar, amat diharamkan (seperti masih tawan
menawar)Haram pula membeli barang saat paceklik (harga pangan mahal) dan orang yang
sangat membutuhkan bahan makanan, dengan tujuan untuk ditahan (disimpan) dan
akan dijual bila dengan harga yang lebih mahalHaram berpura – pura nawar barang
dengan harga mahal tapi tidak bermaksud ingin membeli tapi bermaksud membujuk
orang lain (agar mau membeli dengan harga mahal) Haram memisahkan antara budak
perempuan dan anaknya sebelum tamyiz, semua itu haram. Demikian pula menipu
atau berkhianat dalam urusan timbangan takaran, meteran, htungan dan atau
berdusta Haram menjual kapuk atau lainnya dari barang – barang dagangan kepada
pembeli, tetapi disamping menjual juga memberi hutangnya kepada si pembeli
beberapa dirham. Kemudian harga barang lebih mahal, hal ini dilakukan oleh si
penjual karena demi hutangnya tersebut Demikian juga umpamanya, memberi hutang
kepada pembuat tenun (atau penjahit) atau lainnya dari pekerjaan buruh, tapi
sebelum diberi hutangnya, terlebih dahulu para peminta hutang itu disuruh
dengan upah yang terlalu sedikit, demi hutang tersebut. Hal ini disebut dengan
istilah rubtah, ini juga amat haram. Haram memberi hutangan kepada para petani
yang bayarnya secara tempo sampai saat panen, tapi dengan janji supaya hasil
panen mereka dijual kepada si pemberi utangan tersebut dengan harga dibawah
harga umum. Hal ini disebut dengan muqda E. Perbedaan antara Jual Beli dan Riba
Jual beli dihalalkan oleh Allah Swt, sedangkan riba diharamkan. Dalam aktifitas
jual beli, antara untung dan rugi bergantung kepada kepandaian dan keuletan
individu. Sedangkan dalam riba hanya bertujuan untuk mendapatkan keuntungan
dalam semua aktivitasnya (Fii Dzilaalil Qur’an 1/327), tidak membutuhkan
kepandaian dan kesungguhan bahkan terjadi kemandegan, penurunan dan kemalasan.
Dalam jual beli terdapat 2 kemungkinan untung atau rugi. Sedangkan dalam riba
hanya ada untung dan menutup pintu rugi. Dalam jual beli terjadi tukar menukar
yang bermanfaat bagi kedua belah pihak. Sedangkan riba hanya memberi manfaat
untuk satu pihak saja bahkan saling menzalimi atau merugikan.
Sumber Artikel: http://www.masuk-islam.com/pengertian-riba-dan-pembahasannya-lengkap.html
Sumber Artikel: http://www.masuk-islam.com/pengertian-riba-dan-pembahasannya-lengkap.html
Pengertian
Al-Ijarah berasal dari kata al-Ajru yang berarti Al’lwadhu
(ganti). Dari sebab itu Ats Tsawab (pahala) dinamai Ajru (upah).[1][1]
Menurut pengertian Syara’, Al-Ijarah
ialah: Urusan sewa menyewa yang jelas manfaat dan tujuanya, dapat diserah
terimakan, boleh dengan ganti (upah) yang telah diketahui (gajian trtentu).[2][2]Seperti halnya barang itu harus
bermanfaat, misalkan: rumah untuk ditempati, mobil untuk dinaiki.
Pemilik yang menyewakan manfaat
disebut Mu’ajjir (orang yang menyawakan). Pihak lain yang memberikan
sewa disebut Musta’jir ( orang yang menyawa = penyewa). Dan, sesuatu
yang di akadkan untuk diambil manfaatnya disebut Ma’jur ( Sewaan).
Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan manfaat disebut Ajran atau Ujrah (upah). Dan
setelah terjadi akad Ijarah telah berlangsung orang yang menyewakan
berhak mengambil upah, dan orang yang menyewa berhak mengambil manfaat, akad
ini disebut pula Mu’addhah (penggantian.[3][3]
B.
Dasar Hukum
Dasar –dasar hukum atau rujukan Ijarah
adalah Al-Qur’an, Al-Sunnah, dan Al-Ijma’.
1.
Dasar hukum Ijarah dalam
Al-Qur’an adalah :
فا
ن ارضعن لكم فاء توهن اجو رهن ( ا لطلاق : 6)
“Jika mereka
menyusukan (anak-anakmu) untukmu, maka berikanlah upahnya.”(Al-Talaq: 6).
2. Dasar Hukun Ijarah
Dari Al-Hadits:
( هريرةأبيعنالرزاقعبدرواه )اَجْرَهُفَلْيَعْمَلْجِيْرًااَجَرَاسْتَأْمَنِ
“Barang siapa yang meminta untuk menjadi buruh,
beritahukanlah upahnya.”
(HR. Abdul Razaqdari Abu Hurairah).
3. Landasan Ijma’nya ialah:
Umat islam pada masa sahabat
telah ber ijma’ bahwa ijarah diperbolehkan sebab bermanfaat bagi manusia. .[4][4]
C. Rukun Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, rukun Ijarah adalah ijab dan
qabul, antara lain dengan menggunakan kalimat: al-ijarah, al-isti’jar,
al-iktira’, dan al-ikra.
Adapun menurut jumhur ulama, rukun ijaraha da 4, yaitu:
1. Aqid (orang yang akad).
2. Shigat akad.
3. Ujrah (upah).
4. Manfaat.
D. Syarat Sah Ijarah
Ada 5 syarat
sah dari ijarah, diantaranya:
1.Kerelaan dari dua pihak yang melakukan akad ijarah
tersebut,
2. Mengetahui manfaat dengan
sempurna barang yang diakadkan, sehingga mencegah terjadinya perselisahan,
3. Kegunaannya dari barang
tersebut,
4. Kemanfaatan benda
dibolehkan menurutsyara’,
5. Objek transaksi akad itu
(barangnya) dapat dimanfaatkan kegunaannya menurut kriteria, dan realita.[5][5]
E. Pembagian dan Hukum Ijarah
Ijarah terbagi menjadi dua, yaitu ijarah terhadap benda atau
sewa-menyewa, dan ijarah atas pekerjaan atau upah-mengupah.
1. Hukum sewa-menyewa
Dibolehkan ijarah atas barang mubah,
seperti: rumah, kamar, dan lain-lain. Tetapi dilarang ijarah terhadap
benda-benda yang diharamkan.
a)
Ketetapan Hukum Akad dalam Ijarah
Menurut ulama Hanafiyah, ketetapan
akad ijarah adalah kemanfaatan yang sifatnya mubah.Menurut ulama Malikiyah,
hokum ijarah sesuai dengan keberadaan manfaat. Ulama Hanabilah danS yafi’iyah
berpendapat bahwa hukum ijarah tetap pada keadaannya, dan hukum tersebut
menjadikan masa sewa seperti benda yang tampak.
b)
Cara Memanfaatkan BarangSewaan
1) Sewa Rumah
Jika seseorang menyewa rumah dibolehkan untuk memanfaatkannya
sesuai kemauannya, baik dimanfaatkan sendiri atau dengan orang orang lain,
bahkan boleh disewakan lagi atau dipinjamkan pada orang lain.
2) Sewa Tanah
Sewa tanah diharuskan untuk menjelaskan tanaman apa yang
akan ditanam atau bangunan apa yang akand idirikan di atasnya. Jika tidak
dijelaskan ijarah dipandang rusak.
3) Sewa kendaraan
Dalam menyewa kendaraan, baik hewan atau kendaraan lainnya
harus dijelaskan salah satu diantara dua hal, yaitu waktu dan tempat. Juga
harus dijelaskan barang yang akan dibawa atau benda yang akan diangkut.
c)
Perbaikan Barang Sewaan
Menurut ulama Hanafiyah, jika barang
yang disewakan rusak, pemiliknyalah yang berkewajiban
memmperbaikinya, tetapi ia tidak boleh dipaksa. Apabila penyewa bersedia
memperbaikinya, ia tidak diberikan upah sebab dianggap sukarela.
Adapun hal-hal kecil seperti
membersihkan sampah atau tanah merupakan kewajiban penyewa.
d) Kewajiban
Penyewa Setelah Habis Masa Sewa
1) Menyeahkan kunci jika yang
disewa rumah
2) Jika yang disewa kendaraan,
ia harus menyimpannya kembali di tempat asalnya
2. Hukum Upah-Mengupah
Upah-mengupah atau ijarah
‘ala al-a’mal, yakni jual-beli jasa. Biasanya berlaku dalam beberapa hal
seperti menjahitkan pakaian, membangun rumah, dan lain-lain. Ijarah ‘ala al
a’mal, terbagi dua, yaitu:
a)
Ijarah Khusus
Yaitu ijarah yang dilakukan oleh
seorang pekerja. Hukumnya, orang yang bekerja tidak boleh bekerja selain dengan
orang yang telah memberinya upah.
b)
Ijarah Musytarik
Yaitu ijarah dilakukan secara
bersama-sama atau melalui kerja-sama. Hukumnya dibolehkan bekerja-sama dengan
orang lain.[6][6]
F. Hak Menerima Upah
1)
Selesai bekerja
Seperti dalam hadits yang
diriwayatkan oleh Ibnu Majah, bahwa Rasulullah SAW, bersabda:
(عمرابيعنماجهابنرواه)عَرَقُهُيَجِفَّاَنْقَبْلَاَجْرَهُاْلاَجِيْرَاُعْطُوْا
“Berikanlah olehmu upah orang bayaran sebelum keringatnya
kering.”[7][7]
2)
Mengalirnya manfaat, jika ijarah untuk barang
Karena apabila dalam suatu barang
itu telah terjadi kerusakan maka akad ijarah itupun batal.
3)
Memungkinkan mengalirnya manfaat jika masanya berlasung.
4)
Mempercepat dalam bentuk akad ijarah (bayaran).
G. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
Ijarah adalah jenis akad lazim, yang salah satu pihak yang berakad
tidak memiliki hak fasakh, karena ia merupakan akad pertukaran, kecuali
didapati hal yang mewajibkan fasakh. Seperti di bawah ini:
1)
Terjadi aib terhadap barang sewaan yang kejadiannya di tangan penyewa atau
terlihat aib lama padanya.
2)
Rusakny abarang yang disewakan.
3)
Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, atau selesainya pekerjaan, atau berakhirnya masa, kecuali jika terdapat
uzur yang mencegah fasakh.[8][8]
A. Pengertian ‘Ariyah
Pinjaman atau ‘ariyah menurut bahasa
ialah pinjaman. Sedangkan menurut istilah, ‘ariyah ada beberapa pendapat :
1. Menurut Hanafiyah ‘ariyah ialah:
“Memiliki manfaat secara Cuma-Cuma”
2.
Menurut
Malikiyah ‘ariyah ialah:
“Memiliki manfaat dalam waktu
tertentu dengan tanpa imbalan.
3.
Menurut
Syafi’iyah ‘ariyah adalah:
“Kebolehan mengambil manfaat dari
sesorang yang membebaskannya,apa yang mungkin untuk dimanfaatkan, serta tetap
zat barangnya supaya dapat dikembalikan kepada pemiliknya.”
4. Menurut Hanbaliyah ‘ariyah ialah:
4. Menurut Hanbaliyah ‘ariyah ialah:
“Kebolehan memanfaatkan suatu zat
barang tanpa imbalan dari peminjam atau yang lainnya.”
5. Menurut Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah :
5. Menurut Ibnu Rif’ah berpendapat bahwa yang dimaksud ‘ariyah adalah :
“ Kebolehan mengambil manfaat suatu
barang dengan halal serta tetap zatnya supaya dapat dikembalikan”
7.
Menurut
Al-Mawardi, yang dimaksud ‘ariyah ialah
“Memberikan manfaat-manfaat”
8.
‘Ariyah
adalah kebolehan mengambil manfaat barang-barang yang diberikan oleh pemiliknya
kepada orang lain dengan tanpa di ganti
Dngan demikian dapat disimpulkan
bahwa yang dimaksud dengan ariyah ialah memberikan manfaat suatu barang dari
seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Bila diganti dengan
sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut ‘ariyah.
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
B. Dasar Hukum ‘Ariyah
Menurut Sayyid Sabiq, tolong
menolong (‘Ariyah) adalah sunnah. Sedangkan menurut alRuyani, sebagaimana
dikutif oleh Taqiy al-Din, bahwa ariyah hukumnya wajib ketika awal islam.
Adapun landasan hukumnya dari nash Alquran ialah :
“Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari Al-Qur’an, landasan hukum yang kedua ialah Al-Hadis. Dalam landasan ini ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut :
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan anamanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud)
“Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Dawud)
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak kewajiban mengganti kerugian”(Riwayat Daruquthni)
“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka Allah akan membayarnya, barangsiapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya”(Riwayat Bukhari)
“Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah:2)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu agar menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya.” (An-Nisa:58)
Sebagaimana halnya bidang-bidang lain, selain dari Al-Qur’an, landasan hukum yang kedua ialah Al-Hadis. Dalam landasan ini ‘ariyah dinyatakan sebagai berikut :
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan anamanat kepadamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud)
“Barang pinjaman adalah benda yang wajib dikembalikan”(Riwayat Abu Dawud)
“Pinjaman yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang tidak khianat tidak kewajiban mengganti kerugian”(Riwayat Daruquthni)
“Siapa yang meminjam harta manusia dengan kehendak membayarnya, maka Allah akan membayarnya, barangsiapa yang meminjam hendak melenyapkannya, maka Allah akan melenyapkan hartanya”(Riwayat Bukhari)
“Orang kaya yang memperlambat
(melalaikan) kewajiban membayar utang adalah zalim (berbuat aniaya)”(Riwayat
Bukhari dan Muslim)
C. Rukun dan Syarat ‘Ariyah
Menurut Hanafiyah, rukun ‘ariyah
satu, yaitu ijiab dan Kabul, tidak wajib diucapkan tetapi cukup dengan
menyerahkan pemilik kepada peminjam barang yang dipinjam dan boleh hukum ijiab
Kabul dengan ucapan.
Menurut Syafiiyah, rukun ariyah
adalah sebagai berikut:
1.
Kalimat
mengutangkan (lafazh), seperti seseorang berkata, “saya utangkan benda ini
kepada kamu” dan yang menerima berkata “ saya mengaku berutang benda anu kepada
kamu.” Syarat bendanya adalah sama dengan syarat benda-benda dalam jual beli.
2.
Mu’ir
yaitu orang yang mengutangkan (berpiutang) dan Mus’tair yaitu orang yang
menerima utang. Syarat bagi mu’ir adalah pemilik yang berhak menyerahkannya, sedangkan
syarat-syarat bagi mus’tair adalah:
• baligh maka batal ‘ariyah yang dilakukan
anak kecil atau Shabiy
• Berakal, maka batal ‘ariyah yang
dilakukan oleh orang yang sedang tidur dan orang gila.
• orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan
• orang tersebut tidak dimahjur (dibawah curatelle) maka tidak sah ‘ariyah yang dilakukan
oleh orang yang berada dibawah
perlindungan (curatelle), seperti pemboros.
3. Benda yang diutangkan, pada rukun
ketiga ini disyaratkan dua hal, yaitu:
• Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
• Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” ( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
• Materi yang dipinjamkan dapat dimanfaatkan, maka tidak syah ariyah yang matwrinya tidak dapat digunakan, seperti meminjam karung yang sudah hancur sehingga tidak dapat digunakan untuk menyimpan padi.
• Pemanfaatan itu dibolehkan, maka batal ariyah yang pengambilan manfaat materinya dibatalkan oleh syara, seperti meminjam benda-benda najis.
D. Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang meminjam sesuatu kepada orang lain berarti peminjam memiliki utang kepada yang berpiutang (mu’ir). Setiap utang wajib dibayar sehingga berdosalah orang yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk aniaya. Perbuatan aniaya merupakan salah satu perbuatan dosa. Rasulallah Saw, bersabda:
“ Orang kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah aniaya”
(Riwayat Bukhari dan Muaslim).
Melebihkan bayaran dari sejumlah pinjaman diperbolehkan, asal saja kelebihan itu merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan bagi yang membayar utang.
Rasulallah Saw. Bersabda:
“Sesungguhnya diantara orang yang terbaik dari kamu adalah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar utang” (Riwayat Bukhari dan Muslim)
Rasulallah pernah berutang hewan, kemudian beliau membayar hewan itu dengan yang lebih besar dan tua umurnya dari hewan yang beliau pinjam. Kemudian Rasu bersabda:
“ Orang yang paling baik diantara kamu ialah orang yang dapat membayar utangnya dengan yang lebih baik” (Riwayat Ahmad)
Jika penambahan itu dikehendaki oleh orang yang berutang atau telah menjadi perjajian dalam akad berpiutang, maka tambahan itu tidak halal bagi yang berpiutang untuk mengambilnya. Rasul bersabda:
“ Tiap-tiap piutang yang mengambil manfaat, maka itu adalah salah satu cara dari sekian cara riba” ( Dikeluarkan oleh Baihaqi).
E. Meminjam Pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan Malik berpendapat
bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada orang lain.
Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk hal-hal yang
tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab Hanbali, peminjam
boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang menggantikan setatusnya
selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang tersebut disewakan. Haram
hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang pinjaman tanpa seizing pemilik
barang.
Jika peminjam suatu benda
meminjamkan benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan
kedua, maka pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara
keduanya. Dalam keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada
pihak kedua karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
F. Tanggung Jawab Peminjam
F. Tanggung Jawab Peminjam
Bila peminjam telah memegang
barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia berkewajiban
menjaminnya, baik arena pemakaian yang berlebihan maupun karena yang lainnya.
Demonian menurut Idn Abbas, Aisyah, Abu Hurairah,
Syai’I dan Ishaq dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Samurah, Rasulallah Saw. Bersabda :
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda : \
“Pemegang kewajiban menjaga apa yang ia terima, hingga ia mengambilkannya”.
Sementara para pengikut Hanafi dan Malik berpendapat bahwa, pemin jam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya, kecuali karena tindakan yang berlebihan, karena Rasulallah Saw. Bersabda : \
“Pinjaman yang tidak berkhianat
tidak berkewajiban mengganti kerugian dan orang yang menerima titipan yang
tidak khianat tidak kewajiban mengganti kerugian”(Riwayat Daruquthni)
G. Tatakrama Berutang
G. Tatakrama Berutang
Ada beberapa hal yang dijadikan
penekanan dalam pinjam-meminjam atau utang-piutang tentang nilai-nilia
sopan-santun yang terkait di dalamnya, ialah sebagai berikut:
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
a. Sesuai dengan QS. Al-Bazaar: 282, utang-piutang supaya dikuatkan dengan tulisan dari pihak berutang dengan disaksikan dua orang saksi laki-laki dengan dua orang saksi wanita. Untuk dewasa ini tulisan tresebut dibuat diatas kertas bersegel atau bermaterai.
b. Pinjaman hendaknya dilakukan atas dasar adanya kebutuhan yang mendesak disertai niat dalam hati akan membayarnya/mengembalikannya.
c. Pihak berpiutang hendaknya
berniat memberikan pertolongan kepada pihak berutang. Bila yang meminjam tidak
mampu mengembelikan, maka yang berpiutang hedaknya membalaskannya.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.
d. Pihak yang berutang bila sudah mampu membayar pinjaman, hendaknya dipercepat pembayaran utangnya karena lalai dalam pembayaran pinjaman berari berbuat zalim.
A. Kesimpulan
‘Ariyah (pinjaman) adalah memberikan manfaat suatu
barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (gratis). Apabila
digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, hal itu tidak dapat disebut
¸’Ariyah.
Dalam ‘ariyah ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, rukun ‘ariyah yaitu adanya akad (ijab dan qabul), Orang-orang yang berakad, dan barang yang dipijamkan.
Dalam ‘ariyah ada rukun dan syarat yang harus dipenuhi, rukun ‘ariyah yaitu adanya akad (ijab dan qabul), Orang-orang yang berakad, dan barang yang dipijamkan.
B. Saran dan kritik
a. Saran
Perlu kiranya kita sebagai remaja muslim mengetahui
Apa sebenarnya ariyah itu? Bagaimana dasar hukum serta rukun dan syarat Ariyah?
Dan apakah pembayaran / pengambilan pinjaman itu telah sesuai atau tidak? Untuk
itu kita perlu mengetahui bagaimana pengembalian yang sesuai dengan syara .
agar kita bisa menerapkan dalam kehidupan nyata.
b. Kritik
b. Kritik
Tentunya makalah ini masih sangat jauh dari
sempurna. Untuk itu kepada Dosen pembimbing kami minta masukannya demi
perbaikan pembuatan makalah kami di masa yang akan datang.
C. Daftar Pustaka
• Suhendi, Hedi. 2002. Fiqih muamalat. Jakarta: PT.
RAJAGRAFINDO PERSADA
• Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih. Bandung: penerbit Titian Ilmu
• Abdul Jalil, Ma’ruf. 2006. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka As-Sunah
• Mulyadi, Ahmad. 2006. Fiqih. Bandung: penerbit Titian Ilmu
• Abdul Jalil, Ma’ruf. 2006. Al-Wajiz. Jakarta: Pustaka As-Sunah
PENGERTIAN WAKAF
Menurut bahasa
wakaf berasal dari waqf yang berarti
radiah (terkembalikan), al-tahbis (tertawan)
dan al-man’u (mencegah).
Sedangkan menurut
istialah yang dimaksud dengan wakaf
sebagaimana yang didefinisikan oleh para
ulama adalah sebagai berikut:
1. Muhammad al
Syarbini al Khatib berpendapat bahwa yang
dimaksud
dengan
wakaf ialah “Penahanan harta yang
memungkinkan untuk
dimanfaatkan disertai dengan kekalnya zat benda
dengan memutuskan
(memotong) tasharruf
(penggolongan) dalam penjagaannya atas Mushrif
(pengelola) yang dibolehkan adanya.”
2.
Imam
Taqiy al Din Abi Bakr bin Muhammad
al Husaini dalam kitab Kifayat al
Akhyar berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan wakaf adalah “Penahanan harta yang
memungkinkan untuk dimanfaatkan dengan kekalnya
benda (zatnya), dilarang untuk digolongkan
zatnya dan dikelola manfaatnya dalam
kebaikan untuk mendekatkan diri pada Allah
SWT.”
3.
Ahmad
Azhar Basyir berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan wakaf ialah, menahan harta
yang mungkin dapat diambil orang manfaatnya
tidak musnah seketika, dan untuk penggunaan
yang dibolehkan, serta dimaksudkan untuk
mendapat ridha Allah.
4.
Idris
Ahmad berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan wakaf ialah, menahan harta yang
mungkin dapat diambil orang manfaatnya, kekalnya
zatnya dan menyerahkannya ke tempat-tempat
yang telah ditentukan syara’, serta
dilarang leluasa pada benda-benda yang dimanfaatkannya
itu.
Apakah Anda membutuhkan pinjaman untuk akhir perayaan tahun? Pinjaman untuk ekspansi bisnis? Pinjaman untuk investasi baru? Pinjaman untuk melunasi utang jangka panjang dan tagihan. Cari lagi, Dianarobertloanfirm, dalam hubungannya dengan (PNC) grup jasa keuangan (PNC), menawarkan pinjaman berbunga rendah, non agunan. Kami di sini untuk menempatkan dan akhir, kemiskinan dan pengangguran, karena setiap orang memiliki / potensi sendiri. Hubungi kami hari ini dan Anda akan menjadi salah satu pelanggan kami yang terhormat. Email: info @ dianarobertloan@accountant.com.or dianarobertloanfirm @ gmail.com Terima kasih
BalasHapus