Kamis, 27 Maret 2014

JUAL BELI MENURUT FIQIH MUAMALAH (BY ARIE ZUYA)

  JUAL BELI
A.    Pengertian jual beli
Secara etimologi jual beli adalah al-Bai’. At- tijarah dan al-mubadalah yang berarti  menjual atau mengganti. Kata at- tijarah disebutkan oleh Allah dalam firmannya :
$£JÏB….. öNßg»uZø%yu #uŽÅ  ZpuŠÏRŸxtãur šcqã_ötƒ Zot»pgÏB `©9 uqç7s? ÇËÒÈ 
“…..Rezki yang Kami anuge- rahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”( Q.S. Fathir:29)
Wahbah al-Zuhaily mengartikannya secara bahasa dengan “ menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain”. (Ghufron Ihsan, dkk, Fiqh Muamalat, h. 67). secara terminologi terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama fiqih, yaitu :
-           Pertukaran harta dengan harta atas dasar saling merelakan atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan.
-          Saling tukar harta dengan harta melalui cara tertentu
-          Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan
-          Aqad yang tegak atas dasar penukaran harta dengan harta, maka terjadilah penukaran hak milik secara tetap.
Dari beberapa definisi di atas dapat dilihat bahwa substansi dan tujuan masing-masing definisi adalah sama. Dapat dipahami pula bahwa inti jual beli adalah suatu perjanjian tukar menukar benda atau barang yang mempunyai nilai sukarela di antara kedua belah pihak.( Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah, h.68)


B.     Landasan hukum jual beli
Jual beli adalah suatu alat atau sarana  yang menguntungkan antara satu pihak dengan pihak yang lain, di mana antara sesama umat manusia dapat saling menolong dalam mencukupi kebutuhan mereka. Untuk itu agama Islam pun mengaturnya dalam al-Qur’an dan hadist. Terdapat beberapa ayat al-Quran dan sunnah rasulullah SAW yang mengatur tentang jual beli, di antaranya:
-          Q.S. Al-Baqarah ayat 275 :
3 ¨@ymr&ur ª!$# yìøt7ø9$# tP§ymur (#4qtÌh9$# 4 ..
“ Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba….”
-          Q.S. Al-Baqarah ayat 198 :
}§øŠs9 öNà6øn=tã îy$oYã_ br& (#qäótGö;s? WxôÒsù `ÏiB öNà6În§ 4
“ Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia ( rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu”
-          Q.S. an-Nisa ayat 29
HwÎ)….. br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 …..
“ ….kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kamu….”
-          Rasulullah SAW bersabda :
سُئِلَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلّم : أَيُّ الكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ فَقَالَ : عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَ كُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ (رواه البزّارو الحاكم )
“ Rasulullah SAW ditanya salah seorang sahabat mengenai pekerjaan apa yang paling baik. Rasulullah SAW menjawab : Usaha tangan manusia sendiri dan setiap jual beli yang diberkati “ ( HR. Al-Bazzar dan Al-Hakim )
-          Rasulullah bersabda :
اِنَّمَا البَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ (رواه البيهقى)
“ Jual beli itu didasarkan atas suka sama suka “
C.    Hukum Jual Beli
Dilihat dari kandungan ayat-ayat dan redaksi hadist di atas, para ulama fiqih sepakat bahwa hukum asal jual beli adalah halal atau boleh. Hal ini dikarenakan umat manusia sangat membutuhkan jual beli untuk memenuhi kebutuhan makan, minum, pakaian tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya. Akan tetapi, pada situasi tertentu hukum asal ini dapat berubah. ( Ghufron Insani, dkk, Fiqih Muamalat, h. 70 ).
Karena hukum asalnya adalah halal, maka apabila ada salah satu dari berbagai macam jual beli dianggap haram, maka yang menganggap demikian harus menunjukkan dalil dan alasannya. Sebagaimana kaidah yang menyatakan bahwa hukum muamalah itu boleh, sampai ada dalil yang mengharamkannya. (Abdurrahman as-sa’di dkk, Fiqh Jual Beli :Terjemahan Fiqh al-Bay wa asy syira, h.4 )
D.    Rukun dan syarat jual beli.
Jual beli mempunyai rukun dan syarat yang harus dipenuhi sehingga jual beli dapat dikatakan sah menurut syara’. Dalam menentukan rukun dan syarat ini terdapat perbedaan antara ulama Hanafiyah dan jumhur ulama. Yaitu
-          Menurut ulama Hanafiyah, rukun jual beli hanya satu yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan kabul (ungkapan menjual dari penjual). Sedangkan orang yang berakad dan objek jual beli masuk kedalam syarat-syarat jual beli (Ghufron Ihsan, Fiqh Muamalat, h.71).
-          Menurut jumhur ulama, rukun jual beli itu ada empat, yaitu adanya orang yang berakad, adanya shigat ( lafal ijab kabul ), adanya objek jual beli yaitu barang yang dibeli dan nilai tukar pengganti barang.
Adapun syarat-syaratnya terdapat beberapa perbedaan dikalangan ulama. Yaitu :
a.       Madzhab Hanafiyah
Menurut fuqaha Hanafiyah ada empat macam syarat yang harus dipenuhi dalam jual beli, yaitu :
-          Syarat akad ( syarat in ‘aqad)
Diantara syaratnya adalah orang yang melakukan akad harus cakap bertindak hukum, adanya persesuaian antara ijab dan kabul dan berlangsung dalam satu majlis akad, harus ada barang yang diperjual belikan, milik sendiri dan dapat diserahterimakan.( Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah kontekstual, h. 121)
-          Syarat shihhah
Syarat shihhah  adalah jual beli tyersebut tidak boleh mengandung enam unsur yang merusaknya, yaitu: jihalah (ketidak jelasan), ikrah ( paksaan), tauqit (pembatasan waktu), gharar ( tipu daya), dharar (aniaya) dan persyaratan yang merugikan pihak lain
-          Syarat nafadz ada dua, yaitu adanya unsur milkiyah atau wilayah dan benda yang diperjualbelikan bukan hak orang lain.
-          Syarat luzum yakni tidak adanya khiyar yang memberikan pilihan kepada masing-masing pihak untuk membatalkan atau meneruskan jual beli. (Ghufron. A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, h. 122).
b.      Madzhab Malikiyah
Fuqoha malikiyah merumuskan tiga macam syarat jual beli, yaitu :
-          Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad ( ‘aqid ), adalah harus mumayyiz, cakap hukum, berakal sehat dan pemilik barang
-          Syarat yang berkaitan dengan shigat ( lafal ijab kabul ). Adalah dilaksanakan dalam satu majlis dan antara ijab dan kabul tidak terputus.
-          Syarat yang berkaitan dengan objeknya yaitu barang yang diperjual belikan tidak dilarang oleh syara’, suci, bermanfaat, diketahui oleh ‘aqid dan dapat diserah terimakan.
c.       Madzhab Syafi’yah
Menurut para fuqoha Syafi’iyah syaratnya adalah:
-          Syarat yang berkaitan dengan ‘aqid yaitu baligh, berakal dan cakap hukum, tidak dipaksa, Islam dalam hal jual belimushaf dan kitab hadist, tidak kafir harbi dalam hal jual beli peralatan perang
-          Syarat yang berkaitan dengan ijab kabul,  yaitu : berupa percakapan dua pihak, pihak pertama menyatakan barang dan harganya, qabul dinyatakan oleh pihak kedua, antara ijab dan kabul tidak terputus dengan percakapan lain, kalimat qabul tidak berubah dengan qabul yang baru, terdapat kesesuaian antara ijab dan kabul, shigat akad tidak digantungkan dengan sesuatu yang lain, dan tidak dibatasi oleh periode waktu tertentu.
-          Syarat yang berhubungan dengan objek jual beli adalah harus suci, dapat diserah terimakan, dapat dimanfaatkan secara syara’, hak milik sendiri atau milik orang lain dengan kuasa atasnya, berupa materi dan sifat-sifatnya dapat dinyatakan secara jelas.
d.      Madzhab Hanabillah
Fuqaha Hanabilah merumuskan tiga kategori persyaratan, yaitu:
-          Yang berhubungan dengan ‘aqid adalah harus baligh dan berakal sehat kecuali dalam jual beli barang-barang yang ringan, dan harus ada kerelaan.
-          Syarat yang berkaitan dengan shigat yaitu harus berlangsung dalam satu majlis, antara ijab dan qabul tidak terputus dan akadnya tidak dibatasi dengan periode waktu tertentu.
-          Syarat yang berkaitan dengan objek adalah berupa mal atau harta, milik para pihak, dapat diserahterimakan, dinyatakan secara jelas oleh para pihak, harga dinyatakan secara jelas dan tidak ada halangan syara’.
Dari perbedaan pendapat dari ulama keempat madzhab tersebut terdapat persamaan dan perbedaan. Namun dari semua itu dapat dirumuskan bahwa syarat-syarat jual beli menurut jumhur ulama adalah :
a.        Syarat-syarat orang yang berakad, yaitu:
-          Berakal. Jumhur ulama berpendirian bahwa orang yang telah melakukan jual beli itu harus telah baligh dan berakal. Maka, batal akad bagi anak kecil, orang gila dan orang bodoh. (Hendi suhendi, Fiqh Muamalah,h.74) Allah berfirman :
-          Ÿwur (#qè?÷sè? uä!$ygxÿ¡9$# ãNä3s9ºuqøBr& ÓÉL©9$# Ÿ@yèy_ ª!$# öä3s9 $VJ»uŠÏ% öNèdqè%ãö$#ur $pkŽÏù öNèdqÝ¡ø.$#ur (#qä9qè%ur öNçlm; Zwöqs% $]ùrâ÷ê¨B ÇÎÈ  
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya. harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Q.S. An-Nisa: 5)
-          Yang melakukan akad itu adalah orang yang berbeda.
b.      Syarat yang terkait dengan ijab kabul, yaitu:
-          Kabul sesuai dengan ijab
-          Dilakukan dalam satu majlis
c.       Syarat barang yang diperjualbelikan
-          Barang itu ada atau tidak ada di tempat, tetapi pihak penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan barang itu.
-          Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu Barang seperti bangkai, khamar dan darah tidak sah menjadi objek jual beli.
-          Milik seseorang
-          Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika akad berlangsung
d.      Syarat nilai tukar ( harga barang)
-          Harga yang disepakati oleh kedua belah pihak harus jelas jumlahnya
-          Boleh diserahkan pada waktu akad, dan apabila harga barang tersebut diserahkan kemudian, maka waktu pembayarannya harus jelas
-          Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan, maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan oleh syara’
E.     Macam-Macam jual beli
Jual beli dapat ditinjau dari berbragai segi, yaitu:
a.       Ditinjau dari segi bendanya dapat dibedakan menjadi:
-          Jual beli benda yang kelihatan, yaitu jual beli yang pada waktu akad, barangnya ada di hadapan penjual dan pembeli.
-          Jual beli salam, atau bisa juga disebut dengan pesanan. Dalam jual beli ini harus disebutkan sifat-sifat barang dan harga harus dipegang ditempat akad berlangsung.
-          Jual beli benda yang tidak ada,  Jual beli seperti ini tidak diperbolehkan dalam agama Islam.
b.      Ditinjau dari segi pelaku atau subjek jual beli:
-          Dengan lisan,  akad yang dilakukan dengan lisan atau perkataan. Bagi orang bisu dapat diganti dengan isyarat.
-          Dengan perantara, misalnya dengan tulisan atau surat menyurat. Jual beli ini dilakukan oleh penjual dan pembeli, tidak dalam satu majlis akad, dan ini dibolehkan menurut syara’.
-          Jual beli dengan perbuatan, yaitu mengambil dan memberikan barang tanpa ijab kabul. Misalnya seseorang mengambil mie instan yang sudah bertuliskan label harganya. Menurut sebagian ulama syafiiyah hal ini dilarang karena ijab kabul adalah rukun dan syarat jual beli, namun sebagian syafiiyah lainnya seperti Imam Nawawi membolehkannya.
c.       Dinjau dari segi hukumnya,
Jual beli dinyatakan sah atau tidak sah bergantung pada pemenuhan syarat dan rukun jual beli yang telah dijelaskan di atas. Dari sudut pandang ini, jumhur ulama membaginya menjadi dua, yaitu:
-          Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
-          Ghairu Shahih, yaitu jual beli yang tidak memenuhi salah satu syarat dan rukunnya.
Sedangkan fuqoha atau ulama Hanafiyah membedakan jual beli menjadi tiga, yaitu:
1.      Shahih, yaitu jual beli yang memenuhi syarat dan rukunnya
2.      Bathil, adalah jual beli yang tidak memenuhi rukun dan syarat jual beli, dan ini tidak diperkenankan oleh syara’. Misalnya:
-           Jual beli atas barang yang tidak ada ( bai’ al-ma’dum ), seperti jual beli janin di dalam perut ibu dan jual beli buah yang tidak tampak.
-          Jual beli barang yang zatnya haram dan najis, seperti babi, bangkai dan khamar.
-          Jual beli bersyarat, yaitu jual beli yang ijab kabulnya dikaitkan dengan syarat-syarat tertentu yang tidak ada kaitannya dengan jual beli.
-          Jual beli yang menimbulkan kemudharatan, seperti jual beli patung, salib atau buku-buku bacaan porno.
-          Segala bentuk jual beli yang mengakibatkan penganiayaan hukumnya haram, seperti menjual anak binatang yang masih bergantung pada induknya.
3.      Fasid, yaitu jual beli yang secara prinsip tidak bertentangan dengan syara’ namun terdapat sifat-sifat tertentu yang menghalangi keabsahannya. Misalnya
-          jual beli barang yang wujudnya ada, namun tidak dihadirkan ketika berlangsungnya akad.
-          Jual beli dengan menghadang dagangan di luar kota atau pasar, yaitu menguasai barang sebelum sampai ke pasar agar dapat membelinya dengan harga murah
-          Membeli barang dengan memborong untuk ditimbun, kemudian akan dijual ketika harga naik karena kelangkaan barang tersebut.
-          Jual beli barang rampasan atau curian.
-          Menawar barang yang sedang ditawar orang lain. Rasulullah bersabda:
لاَ يَسُوْمُ الرَّجُلُ عَلَى سَوْمِ أَخِيْهِ (رواه البخارى و مسلم)
“ Tidak boleh seseorang menawar di atas tawaran saudaranya” (HR.Bukhari & muslim )
F.     Hikmah jual beli
Di syariatkannya jual beli tentu mengandung hikmah dan manfaat bagi manusia, di antara hikmah dan manfaat itu antara lain:
-          Menata struktur kehidupan ekonomi masyarakat yang menghargai hak milik orang lain
-          Penjual dan pembeli dapat memenuhi kenutuhannya atas dasar kerelaan dan suka sama suka
-          Menjauhkan diri dari memakan atau memiliki barang yang haram


Tidak ada komentar:

Posting Komentar