Kamis, 27 Maret 2014

BAI’ AS-SALAM DALAM FIQH MUAMALAH [BY ARIE ZUYA]

PENGERTIAN BAI’ AS-SALAM
Secara bahasa, salam (­­سلم) adalah  al-i'tha' (الإعطاء) dan at-taslif (التسليف).  Keduanya  bermakna  pemberian.[1][1] Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna : dia telah menyerahkan baju kepada penjahit.[2][2]
Sedangkan  secara  istilah  syariah,  akad  salam sering didefinisikan oleh para fuqaha secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا).  Jual-beli  barang yang disebutkan  sifatnya  dalam  tanggungan  dengan  imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.[3][3]
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atau forward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi, jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati sebelumnya dalam perjanjian.[4][4]
Fuqaha menamakan jual beli ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’ Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada  masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang.[5][5] Berdasarkan ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.[6][6]
B.           LANDASAN SYARIAH
Landasan syariah transaksi bai’ as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a.      Al-Quran
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sŒÎ) LäêZtƒ#ys? AûøïyÎ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4 
282. Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[7][7] tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.[8][8]
Dan utang secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang dalam jual beli salam.[9][9]
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca ayat tersebut.[10][10]
b.      Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ )  مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda: "Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."[11][11]
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا: ( كُنَّا نُصِيبُ اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ ذَلِك)  رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ 
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering -dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).[12][12]
                Abdullah bin Abu Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa. Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti. Jawabnya. ‘Sesungguhnya pada masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga. (Bukhari).[13][13]
Dari berbagai landasan di atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.

C.          RUKUN BAI’ AS-SALAM
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus memenuhi sejumlah rukun sebagai berikut[14][14]:
1.      Muslam (pembeli) adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2.      Muslam ilaih (penjual) adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3.      Modal atau uang. Ada pula yang menyebut harga (tsaman).
4.      Muslan fiih adalah barang yang dijual belikan.
5.      Shigat adalah ijab dan qabul.
D.          SYARAT JUAL BELI SALAM
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah sebagai berikut:[15][15]
1.      Pihak-pihak yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2.      Barang yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3.      Modal atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam. pembayarannya tidak bisa dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.      Ijab dan qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar uangnya, jelas tempat penyerahannya.[16][16]
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa akad salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat muslam fiih.
1.      Syarat-syarat In’iqad
a.       Pertama, menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah disebutkan.
b.      Kedua, pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah baligh dan berakal karena jual beli salam  merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang yang cakap membelanjakan harta, seperti halnya akad jual beli.

2.      Syarat Sah Salam
a.       Pertama, pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran salam ditangguhkan,  terjadilah transaksi yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jika harga berada dalam tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b.      Kedua, pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan, jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya gurun sahara,, atau  layak dijadikan tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya tidak sah.

3.      Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu sebagai berikut:
a.       Pertama, barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang lain dan tentu  mempunyai fungsi yang berbeda pula seperti beras tipe 101, gandum, jagung putih, jagung kuning dan jenis barang lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka tidak dapat dijadikan barang jual beli salam.  Penyebutan karakteristik tersebut sangat perlu dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b.      Kedua, barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan, hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui. Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat diukur dengan takaran.
‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak salam pada binatang. Tetapi ‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jika pembayaran ditentukan pada waktu yang telah disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus mengizinkan praktek penjualan di muka.[17][17]
c.       Ketiga, barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan).
d.      Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan. Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang alam akad salam.[18][18]
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam dapat diuraikan sebagai berikut:[19][19]
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a)      Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
                                i.            Alat bayar harus diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa  uang, barang, atau manfaat;
                              ii.            Dilakukan saat kontrak disepakati (in advance); dan
                            iii.            Pembayaran tidak boleh dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
                                i.            Harus jelas ciri-cirinya/spesifikasi dan dapat diakui sebagai utang;
                              ii.            Penyerahan dilakukan kemudian;
                            iii.            Waktu dan tempat penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
                            iv.            Pembeli tidak boleh menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip dasar jual beli; dan
                              v.            Tidak boleh menukar barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.

c)      Penyerahan Barang sebelum Tepat Waktu:
                                i.            Penjual wajib menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
                              ii.            Bila penjual menyerahkan barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan harga;
                            iii.            Jika penjual menyerahkan barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli tidak bo­leh meminta pengurangan harga (diskon); dan
                            iv.            Penjual dapat menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat: kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut tam­bahan harga.

Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat pada waktu pe­nyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela me­nerimanya, maka pembeli memiliki dua pilihan:
1.      Membatalkan kontrak dan meminta kembali uang.
2.      Menunggu sampai barang tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS (Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian sengketa. Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka tertutuplah peranan pengadilan agama.
Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman, para fuqaha memiliki pendapat berikut:
a.       Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu bulan. Untuk beberapa penundaan, selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi, jika penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai kematangan. Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika penjual meninggal dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, barang tersebut dianggap barang titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual. 
b.      Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c.       Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15 hari.[20][20]
E.           SALAM PARALEL
1.            Pengertian
Salam paralel yaitu melaksanakan dua transaksi bai’ as-Salam antara bank dengan nasabah, dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau pihak ketiga lainnya secara simultan.
Dewan Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah menetapkan fatwa yang membolehkan praktek salam paralel dengan syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan akad salam yang pertama.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika perdagangan dan transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan menjurus kepada riba.
2.            Ketentuan Umum
a.      Pembatalan kontrak
Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran kembali seluruh modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga pembatalan sebagian penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan sebagian modal.
b.      Penverahan muslam fihi sebelum atau pada waktunva.
Muslam ilaih harus menyerahkan muslam fihi tepat pada waktunya dengan kualitas dan kuantitas sesuai kesepakatan. Jika muslam ilaih menyerahkan muslam fihi dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam harus menerimanya dengan syarat bahwa muslam ilaih tidak meminta harga yang lebih tinggi sebagai ganti kualitas yang lebih baik tersebut.
Jika muslam ilaih mengantar muslam fihi dengan kualitas lebih rendah, pembeli mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya. Para ulama berbeda pendapat tentang boleh tidaknya muslam ilaih menyerahkan muslam fihi yang berbeda dari yang telah disepakati.
Muslam ilaih dapat menyerahkan muslam fihi lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan beberapa syarat:
a)         Kualitas dan kuantitas muslam fihi telah disepakati.
b)         Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih tinggi dari kesepakatan.
c)         Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih rendah dari kesepakatan.
d)        Jika semua atau sebagian muslam fihi tidak tersedia pada waktu penyerahan, muslam mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan kontrak dan meminta kembali uangnya. Kedua, menunggu sampai muslam fihi tersedia.
3.            Perbedaan Bai’ as Salam dengan Ijon
Banyak orang yang menyamakan bai’ as salam dengan ijon Padahal, terdapat perbedaan besar di antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan harga beli, sangat tergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Sedangkan transaksi bai 'as salam mengharuskan adanya 2 hal:
a.               Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas. Hal ini tercermin dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. "Barangsiapa melakukan transaksi salaf (salam), maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas, untuk jangka waktu yang jelas pula."
b.      Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah pihak. Hal ini terutama dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka di antara kalian." (Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan adanya harga yang “fair” ini pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.
Contoh Ijon:
Pembeli membeli beras yang saat itu masih belum dipanen sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen.
Contoh Bai’ as Salam:
Pembeli membeli padi sebanyak satu ton padi dari petani yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon terdapat spekulasi yang akan merugikan salah satu pihak. Jika pembeli memperkirakan hasil panen sebanyak lima ton dan membayar seharga itu, sedangkan kenyataannya menghasilkan tujuh ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa menikmati dua ton kelebihannya. Tetapi sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton maka pembeli yang merugi karena telah membayar seharga lima ton.
Pada contoh bai' as salam, petani hanya menjual sebagian dari produknya. Kalau terjadi gagal panen, ia hanya wajib menyediakan padi sebanyak yang dapat dipenuhinya.
4.            Aplikasi dalam Perbankan
Baias salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak bemiat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bai’as salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog, pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal sebagai salam paralel.
Bai ’ as salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayamya pada waktu pengikatan kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila garmen itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut. Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
5.            Risiko dan Manfaat
Berdasarkan sifatnya yang paralel, bai' as salam mengandung risiko berdasarkan sifatnya yang simultan, salam paralel memiliki beberapa manfaat dan risiko yang harus diantisipasi oleh bank syariah, di antaranya:
a.       Default. Jika pemasok tidak bisa mendatangkan barang yang dipesan karena lalai atau menipu. Maka, bank tidak bias memenuhi barang yang diminta oleh  pembeli.[21][21]
b.      Tak terjual, bank tidak bisa mencari pembeli dari barang salam. Hal terjadi jika pemasok mengantarkan barang yang tidak sesuai dengan kesepakatan saat kontrak.
c.       Harga, harga barang ketika diantar lebih rendah dari harga yang disepakati dengan penjual saat kontrak.
Manfaat bai’as salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.

6.            Skema Aplikasi Jual Beli Salam di Perbankan Syariah
Skema jual beli salam yang dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah adalah seperti pada Gambar berikut[22][22].

Keterangan:
Koperasi petani mangga harum manis memerlukan bantuan dana untuk mensukseskan panen anggota-anggotanya tahun depan terhitung dari sekarang. Untuk itu, koperasi petani tersebut mendatangi bank syariah dan menawarkan skema jual beli salam agar bank syariah tidak rugi dan petanipun dapat panen dengan baik. Maka prosesnya adalah sebagai berikut:
1.      Bank syariah membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi petani buah mangga harum manis dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
2.      Bank syariah membayar tunai kepada koperasi tersebut sebesar: Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp. 500.000.000,- .
3.      Bank syariah menjual kepada pemborong buah mangga harum manis dengan harga Rp.55.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
4.      Pemborong membayar tunai kepada bank syariah sebesar: Rp.55.000,- x 1000 x 10 = Rp.550.000.000,-.
5.      Setelah satu tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum manis dengan jumlah dan kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
6.      Bank syariah kemudian mengirimkan buah-buah tersebut kepada pemborong.
7.      Pemborong menjual mangga harum manis di pasar buah dengan harga Rp.100.000,- per kilogram.
8.      Pemborong mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar buah.
Dari penjelasan dalam skema di atas, terlihat bahwa semua yang terlibat dalam jual beli salam mendapatkan keuntungan mereka masing-masing. Para petani mendapatkan keuntungan berupa panen yang baik dengan hasil yang memuaskan disebabkan keperluan-keperluan mereka dalam mengelola perkebunan tersebut dapat terpenuhi dengan uang tunai yang dibayarkan di muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan pihak bank syariah mendapatkan keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang merupakan selisih harga jual kepada pemborong dengan harga beli dari petani mangga. Dan pihak pemborong mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari bank syariah dengan harga jual di pasar buah.
Memang resiko yang ditanggung oleh pihak bank dan pemborong cukup besar, utamanya ketika prospek harga barang tersebut ke depannya tidak terlalu positif. Oleh karena itu, sikap kehati-hatian bank dalam model jual beli ini sangatlah tinggi, dan skema ini pada akhirnya memang tidak dapat diterapkan untuk semua jenis produk atau hasil pertanian, hanya pada jenis-jenis hasil pertanian yang dapat diramalkan bagus.
Definisi
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u (اتصنع - يستصنع). Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya. Dikatakan : istashna'a fulan baitan, meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna' adalah (عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل). Artinya, sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.[2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).[3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (الشيء المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya. [4]
Jadi secara sederhana, istishna'  boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.

2. Masyru'iyah
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara sayr'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
2.1. Al-Quran
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
2.2. As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَ يَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan. [5]
2.3. Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. [6]
2.4. Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
2.5. Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen.
Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[7]
3. Rukun
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi : [1] Kedua-belah pihak, [2] barang yang diakadkan dan [3] shighah (ijab qabul).
3.1. Kedua-belah pihak
 Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
3.2. Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[8]
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.[9]
3.3 Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
4. Syarat
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
4. 1. Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
4. 2. Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'.
Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at. [10]
3. Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal
Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat.
Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
5. Hakikat Akad Istishna'
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini.
Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah). [11]
Sebagian lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jualjasa). Setealh barang jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.[12]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.



[1] Lihat Lisanul Arab pada madah (صنع)
[2] Badai'i As shanaai'i oleh Al Kasaani jilid 5 halaman 2
[3] Kasysyaf Al-Qinna' jilid 3 halaman 132

























1 komentar:

  1. Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack - Jeopardy
    Today, Harrah's Philadelphia Casino & Racetrack 속초 출장마사지 hosts a variety of live casino games, a wide 부산광역 출장샵 variety of slots, and table games. 춘천 출장샵 In addition 김포 출장샵 to daily 속초 출장샵

    BalasHapus