Kamis, 27 Maret 2014

Harta Menurut Fiqih Muamalah (by arie zuya)

PENGERTIAN HARTA
                Harta dalam bahasa arab disebut al-maal, yang merupakan akar kata dari lafadz ___ yang berarti condong, cenderung, dan miring.
                Dalam al-Muhith dan Lisan Arab, menjelaskan bahwa harta merupakan segala sesuatu yang sangat diinginkan oleh manusia untuk menyimpan dan memilikinya. Dengan demikian unta, kambing, sapi, tanah, emas, perak, dan segala sesuatu yang disukai oleh manusia dan memiliki nilai (qimah), ialah harta kekayaan.
                -Ibnu Asyr- mengatakan bahwa “Kekayaan pada mulanya berarti emas dan perak, tetapi kemudian berubah pengertiannya menjadi segala barang yang disimpan dan dimiliki
                Sedangkan harta (al-maal), menurut Hanafiyah

ialah sesuatu yang digandrungi oleh tabiat manusia dan memungkinkan untuk disimpan hingga dibutuhkan.
                Maksud pendapat di atas definisi harta pada dasarnya merupakan sesuatu yang bernilai dan dapat disimpan. Sehingga bagi sesuatu yang tidak dapat disimpan, tidak dapat dikatagorikan sebagai harta. Adapun manfaat termasuk dalam katagori sesuatu yang dapat dimiliki, ia tidak termasuk harta. Sebaliknya tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang tidak mungkin dipunyai tetapi dapat diambil manfaatnya, seperti cahaya dan panas matahari. Begitu juga tidaklah termasuk harta kekayaan sesuatu yang pada gahlibnya tidak dapat diambil manfaatnya, tetapi dapat dipunyai secara kongrit dimiliki, seperti segenggam tanah, setetes air, seekor lebah, sebutir beras dan sebagainya.
                Dengan demikian, konsep harta menurut Imam Hanafi yaitu segala sesuatu yang memenuhi dua kriteria :
Pertama   : Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya menurut ghalib.
Kedua      : Sesuatu yang dipunyai dan bisa diambil manfaatnya secara kongkrit     (a’ayan) seperti tanah, barang-barang perlengkapan, ternak dan uang
Menurut Jumhur Ulama’ Fiqh selain Hanafiyyah mendefinisikan konsep harta sebagai berikut :

Dari pengertian di atas, Jumhur Ulama’ memberikan pandangan bahwa manfaat termasuk harta, sebab yang penting adalah manfaatnya dan bukan dzatnya. Intinya bahwa segala macam manfaat-manfaat atas sesuatu benda tersebut dapat dikuasai dengan menguasai tempat dan sumbernya, karena seseorang yang memiliki sebuah mobil misalnya, tentu akan melarang orang lain mempergunakan mobil itu tanpa izinnya.
Maksud manfaat menurut Jumhur Ulama’ dalam pembahasan ini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang tampak seperti mendiami rumah atau mengendarai kendaraan. Adapun hak, yang ditetapkan syara’ kepada seseorang secara khusus dari penguasaan sesuatu, terkadang dikaitkan dengan harta, seperti hak milik, hak minum, dan lain lain. Akan tetapi terkadang tidak dikaitkan dengan harta, seperti hak mengasuh dan lain-lain.
Menurut Imam as-Suyuthi harta ialah segala sesuatu yang dapat dimiliki dan mempunyai nilai jual yang akan terus ada, kecuali bila semua orang telah meninggalkannya. Jika baru sebagian orang saja yang meninggalkannya, barang itu mungkin masih bermanfaat bagi orang lain dan masih mempunyai nilai bagi mereka.
Menurut ahli hukum positif, dengan berpegang pada konsep harta yang disampaikan Jumhur Ulama’ selain Hanafiyyah, mereka mendefinisikan bahwa benda dan manfaat-manfaat itu adalah kesatuan dalam katagori harta kekayaan, begitu juga hak-hak, seperti hak paten, hak mengarang, hak cipta dan sejenisnya.
Ibnu Najm mengatakan bahwa harta kekayaan, sesuai dengan apa yang ditegaskan oleh ulama’-ulama’ Ushul Fiqh, adalah sesuatu yang dapat dimiliki dan disimpan untuk keperluan tertentu dan hal itu terutama menyangkut yang kongkrit. Dengan demikian tidak termasuk di dalamnya pemilikan semata-semata atas manfaat-manfaat saja. Dalam hal ini, beliau menganalogikan konsep harta dalam persoalan waris dan wakaf, sebagaiman al-Kasyf al-Kabir disebutkan bahwa zakat maupun waris hanya dapat terealisasi dengan menyerahkan benda (harta atau tirkah dalam hal waris) yang kongkrit, dan tidak berlaku jika hanya kepemilikan atas manfaat semata, tanpa menguasai wujudnya.
II. UANG DAN FUNGSINYA SEBAGAI HARTA
Uang dalam ilmu ekonomi tradisional didefinisikan sebagai setiap alat tukar yang dapat diterima secara umum. Alat tukar itu dapat berupa benda apapun yang dapat diterima oleh setiap orang di masyarakat dalam proses pertukaran barang dan jasa. Dalam ilmu ekonomi modern, uang didefinisikan sebagai sesuatu yang tersedia dan secara umum diterima sebagai alat pembayaran bagi pembelian barang-barang dan jasa-jasa serta kekayaan berharga lainnya serta untuk pembayaran utang. Beberapa ahli juga menyebutkan fungsi uang sebagai alat penunda pembayaran.
Uang dalam bahasa arab disebut “Maal” asal katanya berarti condong, yang berarti meyondongkan mereka ke arah yang menarik, dimana uang sendiri mempunyai daya penarik, yang terbuat dari logam misalnya tembaga, emas, dan perak. Menurut fiqh ekonomi Umar RA diriwayatkan, uang adalah segala sesuatu yang dikenal dan dijadikan sebagai alat pembayaran dalam muamalah manusia. Ekonomi islam secara jelas telah membedakan antara money dan capital. Dalam islam, uang adalah public good/milik masyarakat, dan oleh karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi jumlah uang beredar. Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian terhambat. Di samping itu penumpukan uang/harta juga mendorong manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas beramal. Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian. Oleh karenanya islam melarang penumpukan/penimbunan harta, memonopoli kekayaan sebagaiman telah disebutkan dalam QS At-Taubah 34-35 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih”

                Adapun fungsi uang dalam ekonomi konvensioan diantaranya :
a)            Sebagai alat pembayaran/ pertukaran (medium of exchange).
Uang digunakan sebagai alat pembayaran dalam setiap transaksi barang dan jasa setiap hari. Dengan adanya uang, kegiatan transaksi tukar- menukar barang jadi jauh lebih mudah.
b)      Sebagai alat penyimpan kekayaan (store of value).
Uang merupakan salah satu alat penyimpan  kekayaan, apabila harga barang di pasaran stabil, maka menyimpan kekayaan dalam bentuk uang lebih menguntungkan daripada menyimpannya dalam bentuk barang.
c)      Unit of account (satuan penghitungan).
Uang digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur besarnya nilai suatu barang atau jasa. Satuan nilai adalah satuan ukuran yang menentukan besar kecilnya nilai barang. Dengan adanya uang, nilai suatu barang dapat mudah dinyatakan. Misalnya dengan menunjukkan jumlah uang yang yang diperlukan untuk meperolehi barang tersebut. Di samping itu bisa juga untuk menentukkan nilai suatu barang dibandingkan dengan barang lainnya.
d)      Sebagai alat pembayaran tertunda (deferment payment)
Uang bisa digunakan sebagai alat transaksi yang pembayarannya dilakukan pada waktu yang akan datang, misalnya untuk membayar utang. Penggunaan uang sebagai alat perantaraan dapat mendorong perkembangan perdagangan, karena penjual lebih yakin bahwa pembayarannya akan sesuai dengan yang diharapkannya.



Sedangkan dalam ekonomi islam hanya dikenal adanya 2 fungsi uang yaitu :
a)      Medium of Exchange (for transaction)
Dalam islam, fungsi pertama ini jelas bahwa uang hanya berfungsi sebagai medium of exchange. Uang menjadi media untuk merubah barang dari bentuk yang satu ke bentuk yang lain, sehingga uang tidak bisa dijadikan komoditi.
b)      Unit of Account
Fungsi kedua dari uang dalam islam adalah sebagai unit of account. Imam Ghazali mengatakan bahwa dalam ekonomi barter sekalipun uang tetap diperlukan. Seandainya uang tersebut tidak diterima sebagai medium of exchange, uang tetap diperlukan sebagai unit of account misalnya untuk mengetahui apakah 3 buah topi sama dengan 1 durian?
                Ketika teori konvensional memasukkan satu dari fungsi uang adalah sebagai store of value dimana termasuk juga adanya motif money demand for speculation. Hal ini tidak diperbolehkan dalam islam. Islam memperbolehkan uang untuk transaksi dan untuk berjaga-jaga, namun menolak uang untuk spekulasi. Hal ini, menurut Al-Ghazali sama saja dengan memenjarakan fungsi uang.
                Dalam konsep islam, uang tidak masuk dalam fungsi utility kita, karena sebenarnya manfaat yang kita dapatkan bukan dari uang itu sendiri, tetapi dari fungsi uang.
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money. Akan tetapi, economic value of time yang dikenal dalam islam. Maknanya adalah bahwa time akan mempunyai economic value jika waktu tersebut ditambah dengan faktor produksi lain, sehingga menjadi capital dan dapat menjadi return. Jadi faktor yang menentukan nilai waktu adalah bagaimana seseorang memanfaatkan waktu itu. Semakin efektif (doing the right things), dan efisien (doing the thing right), maka akan semakin tinggi nilai waktunya.

III. HAK DAN MANFAAT HARTA
                Madzhab hanafi meringkas definisi harta pada sesuatu dzat yang bersifat materi. Dalam arti memiliki bentuk yang dapat dilihat atau diraba. Dengan demikian hak dan manfaat termasuk tidak termasuk dalam katagori harta, akan tetapi merupakan kepemilikan.
                Berbeda dengan ulama fiqh selain hanafiyah. Menurut mereka, hak dan manfaat termasuk harta. Dengan alasan, maksud dan tujuan memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang dapat diterima bukan karena dzatnya. Atas dasar adanya manfaat tersebut manusia berusaha untuk menjaga dan menyimpan kemanfaatan yang terdapat dalam dzat tersebut.
                Yang dimaksud dengan manfaat adalah faidah atau fungsi yang terdapat dalam suatu dzat (benda, materi), seperti menempati rumah, mengendarai mobil, atau memakai pakaian. Dalam arti, dengan memiliki mobil, maka manfaat yang bisa dirasakan adalah kita bisa mengendarainya ke suatu tempat yang kita inginkan. Dengan memiliki pakaian, maka kita bisa memakainya untuk menutup aurat dan seterusnya. Ini adalah manfaat.
                Jadi, sebenarnya maksud dari memiliki sesuatu adalah karena terdapat manfaat yang kita dapat rasakan, bukan karena dzatnya. Jika misalnya, mobil yang kita miliki sudah tidak bisa kita kendarai, tentunya mobil tersebut tidak akan kita pakai lagi, walaupun secaram fisik mungkin masih terlihat bagus.
                Sedangkan hak adalah sesuatu yang telah ditetapkan oleh syara’ terhadap seseorang untuk diberi kekhususan atas suatu kekuasaan atau suatu beban hokum tertentu. Artinya, dengan adanya hak, seseorang memiliki kekuasaan atau kekebalan hukum atas sesuatu yang diakui oleh syara’. Pemilik hak tersebut memiliki wewenang atau kuasa penuh atas barang yang telah dibenarkan oleh syara’ untuknya. Terkadang hak itu berhubungan dengan harta, seperti hak kepemilikan, hak untuk merawat dan memelihara kebun, dan lainnya. Tapi, terkadang juga tidak berhubungan dengan harta, seperti hak untuk merawat anak.
                Manfaat dan hak yang terkait dengan harta, ataupun hak yang tidak terkait dengan harta, menurut pandangan hanafiyah tidak termasuk dalam katagori harta. Karena tidak dimungkinkan untuk memiliki dan menyimpan dzatnya. Selain itu, manfaat dan hak bersifat maknawi, tidak permanen dan akan berkurang secara bertahap.
                Menurut Jumhur Ulama, hak dan manfaat tetap merupakan harta, karena bisa dimungkinkan untuk memiliki dan menjaganya, yaitu dengan menjaga asal dan sumbernya. Dengan alasan, karena ada hak dan manfaatlah seseorang bermaksud untuk memiliki suatu benda
(dzat, materi). Dan karenanya, orang suka dan berlomba untuk mendapatkannya. Jika sudah tidak terdapat manfaat dan hak pada suatu benda, maka tidak mungkin orang akan mengejar untuk memiliki suatu benda.
                Bedasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa substansi seseorang memiliki benda (dzat, materi) adalah karena adanya unsur manfaat, jika manfaat itu telah tiada, maka ia akan cenderung untuk meninggalkannya.
                Adanya perbedaan pandangan ini mempunyai implikasi hukum tertentu, khususnya dalam hal ghasab (menggunakan barang orang lain tanpa izin pemilik), ijarah (sewa menyewa) atau pun hukum waris. Menurut hanafiyah, orang yang meng-ghasab barang orang lain dalam kurun waktu tertentu, kemudian barang tersebut dikembalikan kepada pemiliknya, maka orang yang meng-ghasab tersebut tidak berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat yang telah dipakai. Dengan catatan, barang tersebut masih utuh dan bukan milik anak yatim, barang waqf, atau barang yang secara khusus dimaksudkan untuk dikomersilkan. Berbeda dengan jumhur ulama, si peng-ghasab berkewajiban untuk mengganti nilai manfaat selama ia menggunakan barang ghasab tersebut.
                Menurut hanafiyah, akad ijarah dengan sendirinya akan selesai (berhenti) dengan meninggalnya pemilik barang yang disewakan, karena manfaat bukan harta, sehingga dapat diwariskan. Mayoritas ulama fiqh mengatakan, akad ijarah  tetap berlangsung walaupun pemiliknya telah meninggal dunia sampai batas waktu yang telah disepakati dalam akad.
                Adapun manfaat harta diantaranya :
1.      Untuk menyempurnakan pelaksanaan ibadah yang khas (mahdhah), sebab untuk ibadah memerlukan alat-alat seperti kain untuk menutup aurat dalam pelaksanaan shalat, bekal untuk melaksanakan ibadah haji, berzakat, shadaqah, hibbah dan yang lainnya.
2.      Untuk meningkatkan keimanan (ketaqwaan) kepada Allah.
3.      Untuk menyelaraskan (menyeimbangkan) antara kehidupan dunia dan akhirat (HR Bukhari) :


Artinya : Bukanlah orang yang baik, yang meninggalkan masalah dunia untuk masalah akhirat, dan meninggalkan masalah akhirat untuk urusan duniawi, sehingga seimbang diantara keduanya. Karena masalah dunia adalah menyampaikan manusia kepada masalah akhirat.
4.      Untuk meneruskan kehidupan dari satu periode ke periode berikutnya.(QS An-Nisa :9)



Artinya : Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.
5.      Untuk mengembangkan dan menegakkan ilmu-ilmu, karena menurut ilmu tanpa modal akan tersa sulit, seperti sesorang tidak bisa kuliah di perguruan tinggi bila ia tidak memiliki biaya.
6.      Untuk memutarkan (mentasharuf) peranan-peranan kehidupan yakni adanya pembantu dan tuan. Adanya orang kaya dan miskin sehingga antara pihak saling membutuhkan karena itu tersusunlah masyarakat yang harmonis dan berkecukupan.
7.      Untuk menumbuhkan silahturrahim, karena adanya perbedaan dan keperluan sehingga terjadilah interaksi dan komunikasi silaturrahim dalam rangka saling mencukupi kebutuhan.
8.      Sebagai amanat (titipan)
IV. PEMBAGIAN JENIS-JENIS HARTA
                Menurut Fuqaha’ harta dapat ditinjau dari beberapa bagian yang setiap bagian memilik cirri-ciri khusus dan hukumnya tersendiri yang berdampak atau berkaitan dengan beragam hukum (ketetapan). Namun, pada pembahasan ini hanya akan dijelaskan beberapa bagian yang masyhur yaitu sebagai berikut :
1.      Mal Mutaqawwim dan Ghair al-Mutaqawwim
a.       Harta Mutaqawwim
 ialah sesuatu yang memiliki nilai dari segi hukum syar’I”. Yang dimaksud harta Mutaqawwim dalam pembahasan ini ialah segala sesuatu yang dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dibolehkan syara’ untuk memanfaatkannya. Pemahaman tersebut bermakna bahwa tiap pemanfaatan atas sesuatu berhubungan erat dengan ketentuan nilai positif dari segi hukum, yang terkait pada cara perolehan maupun penggunaannya.
Misalnya, kerbau halal dimakan oleh umat islam, tetapi, apabila kerbau tersebut disembelih tidak menurut syara’, semisal dipukul. Maka daging kerbau tersebut tidak bisa dimanfaatkan karena cara penyembelihannya batal (tidak sah) menurut syara’.
b.      Harta Ghair al-Mutaqawwim 
Ialah sesuatu yang tidak memiliki nilai dari segi hukum syar’i. Maksud pengertian harta Ghair al-Mutaqawwim merupakan kebalikan dari harta mutaqawwim, yakni segala sesuatu yang tidak dapat dikuasai dengan perkerjaan dan dilarang oleh syara’ untuk memanfaatkannya.
Harta dalam pengertian ini, dilarang oleh syara’ diambil manfaatnya, terkait jenis benda tersebut dan cara memperolehnya maupun penggunaannya. Misalnya babi termasuk harta Ghair al-Mutaqawwim , karena jenisnya. Sepatu yang diperoleh dengan cara mencuri temasuk Ghair al-Mutaqawwim, karena cara memperolehnya yang haram. Uang disumbangkan untuk pembangunan tempat pelacuran, termasuk Ghair al-Mutaqawwim karena penggunaannya dilanggar syara’.
Kadang-kadang harta mutaqawwim diartikan dengan dzimah, yaitu sesuatu yang mempunyai nilai, seperti pandangan fuqaha’ : sesuatu dinyatakan bermanfaat itu tidak dinilai dengan sendirinya, tetapi ia dilihat dengan adanya akad sewa-menyewa yang dimaksudkan untuk memenuhi keperluan.


2.      Mal Mitsli dan Mal Qimi
a.       Harta Mitsli
Ialah harta yang ada persamaannya dalam kesatuan-kesatuannya, dalam arti dapat berdiri sebagiannya di tempat yang lain tanpa ada perbedaan yang perlu dinilai. Dalam pembagian ini, harta diartikan sebagai sesuatu yang memiliki persamaan atau kesetaraan di pasar, tidak ada perbedaan yang pada bagian-bagiannya atau kesatuannya, yaitu perbedaan atau kekurangan yang biasa terjadi dalam aktivitas ekonomi.
Harta mitsli terbagi atas empat bagian yaitu: harta yang ditakar, seperti gandum, harta yang ditimbang, seperti kapas dan besi, harta yang dihitung, seperti telur, dan harta yang dijual dengan meter, seperti kain, papan, dan lain-lainnya.
b.      Harta Qimi
Yaitu harta yang tidak mempunyai persamaan di pasar atau mempunyai persamaan, tetapi ada perbedaan menurut kebiasaan antara kesatuannya pada nilai, seperti binatang dan pohon.
Dengan perkataan lain, pengertian kedua jenis harta di atas ialah mitsli berarti jenisnya mudah ditemukan atau diperoleh di pasaran (secara persis), dan qimi  suatu benda yang jenisnya sulit didapatkan serupanya secara persis, walau bisa ditemukan, tetapi jenisnya berbeda dalam nilai harga yang sama. Jadi, harta yang ada duanya disebut mitsli dan harta yang tidak duanya secara tepat disebut qimi.
                Perlu diketahui bahwa harta yang dikatagorikan sebagai qimi ataupun mitsli tersebut bersifat amat relatif dan kondisional. Artinya bisa saja di suatu tempat atau negara yang satu menyebutnya qimi dan di tempat yang lain menyebutnya mitsli
3.      Mal Istihlak dan Mal Isti’mal
a.       Harta istihlak
Yaitu sesuatu yang tidak dapat diambil kegunaan dan manfaatnya, kecuali dengan menghabiskannya atau merusak dzatnya. Harta dalam katagori ini ialah harta sekali pakai, artinya manfaat dari benda tersebut hanya bisa digunakan sekali saja.
Harta istihlak dibagi menjadi dua, yaitu istihlak haqiqi dan istihlak huquqi. Istihlak haqiqi yaitu suatu benda yang menjadi harta yang secara jelas (nyata) dzatnya habis sekali digunakan. Misalnya makanan, minuman, kayu bakar dan sebagainya.
Sedangkan istihlak huquqi ialah harta yang sudah habis nilainya bila telah digunakan, tetapi dzat nya masih ada. Misalnya uang, uang yang digunakan untuk membayar hutang, dipandang habis menurut hukum walaupun uang tersebut masih utuhm hanya pindah kepemilikan.
b.      Harta Isti’mal
Ialah harta yang dapat digunakan berulang kali, artinya wujud benda tersebut tidaklah habis atau musnah dalam sekali pemakaian, seperti kebun, tempat tidur, baju, sepatu, dan lain sebagainya.
Dengan demikian, perbedaan antara dua jenis harta tersebut di atas, terletak pada dzat benda itu sendiri, mal istihlak habis dzatnya dalam sekali pemakaian dan mal isti’mal tidak habis dalam sekali pemanfaatan (bisa dipakai berulang-ulang).
4.      Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul
a.       Harta Manqul
Ialah segala macam sesuatu yang dapat dipindahkan dan diubah dari tempat satu ketempat yang lain, baik tetap pada bentuk dan keadaan semula ataupun berubah bentuk dan keadaannya dengan perpindahan dan perubahan tersebut. Harta dalam katagori ini mencakup uang, barang dagangan, macam-macam hewan, kendaraan, macam-macam benda yang ditimbang dan diukur.
b.      Harta Ghair al-Manqul atau Al-Aqar
Ialah segala sesuatu yang tetap (harta tetap), yang tidak mungkin dipindahkan dan diubah posisinya dari satu tempat ke tempat yang lain menurut asalnya, seperti kebun, rumah, pabrik, sawah, dan lainnya. Dalam ketentuan kitab undang-undang hukum perdata, istilah Mal Manqul dan Mal Ghair al-Manqul (al-Aqar) diartikan dengan istilah benda bergerak dan atau benda tetap
5.      Mal ‘Ain dan Mal Dayn
a.       Harta ‘Ain
Ialah harta yang berbentuk benda, seperti rumah, pakaian, beras, kendaraan, dan yang lainnya. Harta ‘Ain dibagi menjadi 2 bagian :
1.      Harta ‘Ain Dzati Qimah yaitu benda yang memiliki bentuk yang dipandang sebagai harta karena memiliki nilai. Harta ‘ain dzati qimah meliputi :
a.       Benda yang dianggap harta yang boleh diambil manfaatnya.
b.      Benda yang dianggap harta yang tidak boleh diambil manfaatnya.
c.       Benda yang dianggap sebagai harta yang ada sebangsanya.
d.      Benda yang dianggap harta yang tidak ada atau sulit dicari sepadanya yang serupa.
e.       Benda yang dianggap harta berharga dan dapat dipindahkan (bergerak)
f.       Benda yang dianggap harta berharga dan tidak dapat dipisahkan (tetap)
2.      Harta ‘Ain Ghayr Dzati Qimah yaitu benda yang tidak dapat dipandang sebagai harta, karena tidak memiliki nilai atau harga, misalnya sebiji beras.
b.      Harta Dayn
Ialah kepemilikan atas suatu harta dimana harta masih berada dalam tanggung jawab seseorang, artinya si pemilik hanya memiliki harta tersebut, namun ia tidak memiliki wujudnya dikarenakan berada dalam tanggungan orang lain.
Menurut Hanafiyah harta tidak dapat dibagi menjadi harta ‘ain dan dayn karena konsep harta menurut hanafiyah merupakan segala sesuatu yang berwujud (kongkrit), maka bagi sesuatu yang tidak memiliki wujud riil tidaklah dapat dianggap sebagai harta, semisal hutang. Hutang tidak dipandang sebagai harta, tetapi hutang menurut Hanafiyah merupakan sifat pada tanggung jawab (washf fii al-dzimmah)
6.      Mal ‘Aini dan Mal Naf’I (manfaat)
a.       Harta al- ‘Aini ialah benda yang memiliki nilai dan berbentuk (berwujud), misalnya rumah, ternak, dan lainnya.
b.      Harta an-Nafi’ ialah a’radl yang berangsunr-angsur tumbuh menurut perkembangan masa, oleh karena itu mal al-Naf’I tidak berwujud dan tidak mungkin disimpan.
Ulama’ Syafi’iyah dan Hanabilah berpendapat bahwa harta ‘ain dan harta naf’i memiliki perbedaan, dan manfaat dianggap sebagai harta mutaqawwim karena manfaat adalag maksud yang diharapkan dari kepemilikan suatu harta benda.
7.      Mal Mamluk, Mubah dan Mahjur
a.       Harta Mamluk
ialah sesuatu yang merupakan hak milik baik milik perorangan maupun milik badan seperti pemerintah dan yayasan. Harta mamluk terbagi menjadi dua macam, yaitu :
1.      Harta perorangan (mustaqih) yang berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya rumah yang dikontrakkan. Harta perorangan yang tidak berpautan dengan hak bukan pemilik, misalnya seorang yang mempunyai sepasang sepatu dapat digunakan kapan saja.
2.      Harta pengkongsian antara dua pemilik yang berkaitan dengan hak yang bukan pemiliknya, seperti dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik dan lima buah mobil, salah satu mobilnya disewakan selama satu bulan kepada orang lain. Harta yang dimiliki oleh dua orang yang tidak berkaitan dengan hak bukan pemiliknya, semisal dua orang yang berkongsi memiliki sebuah pabrik, maka pabrik tersebut di hasruslah dikelola bersama.

b.      Harta Mubah
Yaitu sesuatu yang pada asalnya bukan merupakan hak milik perseorangan seperti air pada air mata, binatang buruan darat, laut, pohon-pohon di lautan dan buah-buahannya. Tiap-tiap manusia boleh memiliki harta mubah sesuai dengan kesanggupannya, orang yang mengambilnya akan menjadi pemiliknya, sesuai dengan kaidah : “Barang siapa yang membebaskan harta yang tidak bertuan, maka ia menjadi pemiliknya”
c.       Harta Mahjur
Yaitu harta yang dilarang oleh syara’ untuk dimiliki sendiri dan memberikannya kepada orang lain. Adakalanya harta tersebut berbentuk wakaf ataupun benda yang dukhususkan untuk masyarakat umum, seperti jalan raya, masjid-masjid, kuburan-kuburan, dan yang lainnya.
8.      Harta Yang Dapat Dibagi dan Harta Yang Tidak Dapat Dibagi
a.       Harta yang dapat dibagi (mal qabil li al-qismah) ialah harta yang tidak menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan bila harta itu dibagi-bagi, misalnya beras, jagung, tepung dan sebagainya.
b.      Harta yang dapat dibagi (mal ghair al-qabil li al-qismah) ialah harta yang menimbulkan suatu kerugian atau kerusakan apabila harta tersebut dibagi-bagi misalnya gelas, kemeja, mesin dan sebagainya.
9.      Harta Pokok (ashl) dan Harta Hasil (tsamar)
a.       Harta pokok ialah harta yang memungkinkan darinya muncul harta lain
b.      Harta hasil ialah harta yang muncul dari harta lain (harta pokok)
Pokok harta juga bisa disebut modal, misalnya uang, emas, dan yang lainnya, contoh harta pokok dan harta hasil ialah bulu domba dihasilkan dari domba, maka domba merupakan harta pokok dan bulunya merupakan harta hasil, atau kebau yang beranak, anaknya dianggap sebagai tsamarah dan induknya yang melahirkan disebut harta pokok.
10.  Mal Khas dan Mal ‘Am  
a.       Harta khas ialah harta pribadi, tidak bersekutu dengan yang lain, tidak boleh diambil manfaatnya tanpa disetujui pemiliknya.
b.      Harta ‘Am ialah harta milik umum (bersama) yang boleh diambil manfaatnya secara bersama-sama.
Harta yang dapat dikuasai (ikhraj) terbagi menjadi dua bagian yaitu :
a)      Harta yang termasuk milik perseorangan
b)      Harta-harta yang tidak dapat termasuk milik perseorangan
Harta yang dapat masuk menjadi milik perseorangan, ada dua macam yaitu :
a.       Harta yang bisa menjadi milik perorangan, tetapi belum ada sebab pemilikan, misalnya binatang buruan di hutan.
b.      Harta yang bisa menjadi milik perorangan dan sudah ada sebab kepemilikan misalnya ikan di sungai diperoleh seseorang dengan cara memancing.
c.       Harta yang tidak masuk milik perorangan adalah harta yang menurut syara’ tidak boleh dimiliki sendiri, misalnya sungai, jalan raya dan yang lainnya.
Dari kesepuluh pembagian jenis-jenis harta yang telah diuraikan di atas, secara global konsep  harta dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Mal at-Tam yaitu harta yang merupakan hak milik sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun manfaatnya, pengertian harta ini disebut juga Milk at-Tam berarti kepemilikan sempurna atas unsure hak milik dan hak penggunaannya.
2.      Mal Ghair al-Tam yaitu harta yang bukan merupakan hak milik sempurna baik dari segi wujud benda tersebut maupun dari segi manfaatnya, pengertian harta ini disebut juga Milk an-Naqis yang berarti kepemilikan atas unsur harta hanya dari satu segi saja. Semisal hak pakai rumah kontrakan dan sebagainya.






Pendahuluan
Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa lepas untuk berhubungan dengan orang lain dalam kerangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga terkadang secara pribadi ia tidak mampu untuk memenuhinya, dan harus berhubungan dengan orang lain. Hubungan antara satu manusia dengan manusia lain dalam memenuhi kebutuhan, harus terdapat aturan yang menjelaskan hak dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Proses untuk membuat kesepakatan dalam kerangka memenuhi kebutuhan keduanya, lazim disebut dengan proses untuk berakad atau melakukan kontrak. Hubungan ini merupakah fitrah yang sudah ditakdirkan oleh Allah. karena itu ia merupakan kebutuhan sosial sejak manusia mulai mengenal arti hak milik. Islam sebagai agama yang komprehensif dan universal memberikan aturan yang cukup jelas dalam akad untuk dapat diimplementasikan dalam setiap masa.
Begitupun dalam menjalankan bisnis, satu hal yang sangat penting adalah masalah akad (perjanjian). Akad sebagai salah satu cara untuk memperoleh harta dalam syariat Islam yang banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Akad merupakan cara yang diridhai Allah dan harus ditegakkan isinya. Al-Qur’an surah Al-Maidah ayat 1 menyebutkan:

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”.
Dalam ayat ini ahli tafsir memberikan penjelasan bahwa Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.
A.       Pengertian Akad
Secara literal, akad berasal dari bahasa arab yaitu عَقَدَ يَعْقِدُ عَقْدًا yang berarti perjanjian atau persetujuan. Kata ini juga bisa diartikan tali yang mengikat karena akan adanya ikatan antara orang yang berakad. Dalam kitab fiqih sunnah, kata akad diartikan dengan hubungan ( الرّبْطُ ) dan kesepakatan ( الاِتِفَاقْ ). Menurut para ulama fiqh, kata akad didefenisikan sebagai hubungan antara ijab dan kabul sesuai dengan kehendak syariat yang ditetapkan adanya pengaruh (akibat) hukum dalam objek perikatan. Rumusan akad mengindikasikan bahwa perjanjian harus merupakan perjanjian kedua belah pihak untuk mengikatkan diri tentang perbuatan yang akan dilakukan dalam suatu hal yang khusus. Akad ini diwujudkan Pertama, dalam ijab dan kabul. Kedua, sesuai dengan kehendak syariat. Ketiga, adanya akibat hukum pada objek perikatan.
Akad (ikatan,keputusan, atau penguatan) atau perjanjian atau transaksi dapat dartikan sebagai kemitraan yang terbingkai dengan nilai-nilai syariah.
Dalam istilah fiqh, secara umum akad berarti sesuatu yang menjadi tekad seseorang untuk melaksanakan bik yang muncul dari satu pihak, seperti wakaf, talak, sumpah, maupun yang muncul dari dua pihak, seperti jual beli, sewa, wakalah, dan gadai.
Secara khusus akad berarti kesetaraan antara ijab (pernyataan penawaran/pemindahan kepemilikan) dan kabul (pernyataan penerimaan kepemilikan) dalam lingkup yang disyariatkan dan berpengaruh kepada sesuatu.
enurut Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang dimksud dengan akad adalah kesepakatan dalam suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan atau tidak melakukan hukum tertentu.
B.       Rukun Akad
Untuk sahnya suatu akad harus memenuhi hukum akad yang merupakan unsur asasi dari akad. Rukun akad tersebut adalah:
1.        Aqid (Orang yang Menyelenggarakan Akad)
Aqid adalah pihak-pihak yang melakukan transaksi, atau orang yang memiliki hak dan yang akan diberi hak, seperti dalam hal jual beli mereka adalah penjual dan pembeli. Ulama fiqh memberikan persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh aqid antara lain :
a) Ahliyah
Keduanya memiliki kecakapan dan kepatutan untuk melakukan transaksi. Biasanya mereka akan memiliki ahliyah jika telah baligh atau mumayyiz dan berakal. Berakal disini adalah tidak gila sehingga mampu memahami ucapan orang-orang normal. Sedangkan mumayyiz disini artinya mampu membedakan antara baik dan buruk; antara yang berbahaya dan tidak berbahaya; dan antara merugikan dan menguntungkan.
b) Wilayah
Wilayah bisa diartikan sebagai hak dan kewenangan seseorang yang mendapatkan legalitas syar'i untuk melakukan transaksi atas suatu obyek tertentu. Artinya orang tersebut memang merupakan pemilik asli, wali atau wakil atas suatu obyek transaksi, sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk mentransaksikannya. Dan yang terpenting, orang yang melakukan akad harus bebas dari tekanan sehingga mampu mengekspresikan pilihannya secara bebas.
2. Ma'qud ‘Alaih (objek transaksi)
Ma'qud ‘Alaih harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
• Obyek transaksi harus ada ketika akad atau kontrak sedang dilakukan.
• Obyek transaksi harus berupa mal mutaqawwim (harta yang diperbolehkan syara' untuk
ditransaksikan) dan dimiliki penuh oleh pemiliknya.
• Obyek transaksi bisa diserahterimakan saat terjadinya akad, atau dimungkinkan dikemudian hari.
• Adanya kejelasan tentang obyek transaksi.
• Obyek transaksi harus suci, tidak terkena najis dan bukan barang najis.
2.        Shighat, yaitu Ijab dan Qobul
Ijab Qobul merupakan ungkapan yang menunjukkan kerelaan atau kesepakatan dua pihak yang melakukan kontrak atau akad. Definisi ijab menurut ulama Hanafiyah adalah penetapan perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang diucapkan oleh orang pertama, baik yang menyerahkan maupun menerima, sedangkan qobul adalah orang yang berkata setelah orang yang mengucapkan ijab, yang menunjukkan keridhaan atas ucapan orang yang pertama. Menurut ulama selain Hanafiyah, ijab adalah pernyataan yang keluar dari orang yang menyerahkan benda, baik dikatakan oleh orang pertama atau kedua, sedangkan Qobul adalah pernyataan dari orang yang menerima.
Dari dua pernyataan definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa akad Ijab Qobul merupakan ungkapan antara kedua belah pihak yang melakukan transaksi atau kontrak atas suatu hal yang dengan kesepakatan itu maka akan terjadi pemindahan ha kantar kedua pihak tersebut.
Dalam ijab qobul terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi , ulama fiqh menuliskannya sebagai berikut :
• adanya kejelasan maksud antara kedua belah pihak.
• Adanya kesesuaian antara ijab dan qobul
• Adanya pertemuan antara ijab dan qobul (berurutan dan menyambung).
• Adanya satu majlis akad dan adanya kesepakatan antara kedua belah pihak, tidak
menunjukkan penolakan dan pembatalan dari keduannya.
Ijab Qobul akan dinyatakan batal apabila :
• penjual menarik kembali ucapannya sebelum terdapat qobul dari si pembeli.
• Adanya penolakan ijab dari si pembeli.
• Berakhirnya majlis akad. Jika kedua pihak belum ada kesepakatan, namun keduanya telah
pisah dari majlis akad. Ijab dan qobul dianggap batal.
• Kedua pihak atau salah satu, hilang ahliyah -nya sebelum terjadi kesepakat
• Rusaknya objek transaksi sebelum terjadinya qobul atau kesepakatan.
C.       Syarat Akad
Disamping rukun, syarat juga harus terpenuhi agar akad itu sah. Adapun syarat-syarat itu adalah:
1.        Syarat terjadinya akad
Syarat terjadinya akad adalah segala sesuatu yang disyaratkan untuk terjadinya akad secara syara'. Syarat ini terbagi menjadi dua bagian yakni umum dan khusus. Syarat akad yang bersifat umum adalah syarat–syarat akad yang wajib sempurna wujudnya dalam berbagai akad. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi dalam setiap akad adalah:
• Pelaku akad cakap bertindak (ahli).
• Yang dujadikan objek akad dapat menerima hukumnya.
• Akad itu diperbolehkan syara'dilakukan oleh orang yang berhak melakukannya walaupun bukan aqid yang memiliki barang.
• Akad dapat memberikan faidah sehingga tidak sah bila rahn dianggap imbangan amanah.
• Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi kabul. Oleh karenanya akad menjadi batal bila ijab dicabut kembali sebelum adanya kabul.
• Ijab dan kabul harus bersambung, sehingga bila orang yang berijab berpisah sebelum adanya qabul, maka akad menjadi batal.
Sedangkan syarat yang bersifat khusus adalah syarat-syarat yang wujudnya wajib ada dalam sebagian akad. Syarat ini juga sering disebut syarat idhafi(tambahan yang harus ada disamping syarat-syarat yang umum, seperti syarat adanya saksi dalam pernikahan.
2. Syarat Pelaksanaan akad
Dalam pelaksanaan akad, ada dua syarat yaitu kepemilikan dan kekuasaan. Kepemilikan adalah sesuatu yang dimiliki oleh seseorang sehingga ia bebas beraktivitas dengan apa-apa yang dimilikinya sesuai dengan aturan syara'. Adapun kekuasaan adalah kemampuan seseorang dalam ber-tasharuf sesuai dengan ketentuan syara'.
2.        Syarat Kepastian Akad (luzum)
Dasar dalam akad adalah kepastian. Seperti contoh dalam jual beli, seperti khiyar syarat, khiyar aib, dan lain-lain. Jika luzum Nampak maka akad batal atau dikembalikan.

E. Macam-Macam Akad
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasai jenis-jenis akad. Secara garis besar adapun pengelompokan macam-macam akad, anatara lain:
1. Akad menurut tujuannya:
1.1. Akad Tabarru, yaitu akad yang dimaksudkan untuk menolong dan murni semata-mata karena mengharapkan ridha dan pahala dari Allah SWT. Atau dalam redaksi lain akad Tabarru (gratuitous countract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut nonprofit transaction (transaksi nirlaba). Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Hibah, Wakaf, Wasiat, Ibra’, Wakalah, Kafalah, Hawalah, Rahn, dan Qirad.
1.2. Akad Tijari, yaitu akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan dimana rukun dan syarat telah telah dipenuhi semuanya. Atau dalam redaksi lain akad Tijari (conpensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut for profit transaction. Akad yang termasuk dalam kategori ini adalah: Murabahah, Salam, Istishna’ dan Ijarah Muntahiyah bittamlik serta mudharabah dan Musyaraqah.
2. Akad menurut keabsahannya:
2.1. Akad Sahih (Valid Contract) yaitu akad yang memenuhi semua rukun dan syaratnya. Akibat hukumnya adalah perpindahan barang misalnya dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual.
2.2 Akad Fasid (Voidable Contract) yaitu akad yang semua rukunnya terpenuhi, namun ada syarat yang tidak terpenuhi. Belum terjadi perpindahan barang dari penjual kepada pembeli dan perpindahan harga (uang) dari pembeli kepada penjual. Sebelum adanya usaha untuk melengkapi syarat tersebut. Dengan kata lain akibat hukumnya adalah Mauquf (terhenti dan tertahan untuk sementara).
2.3. Akad Bathal (Void Contract) yaitu akad dimana salah satu rukunnya tidak terpenuhi dan otomatis syaratnya juga tidak dapat terpenuhi. Akad sepeti ini tidak menimbulkan akibat hukum perpindahan harta (harta/uang) dan benda kepada kedua belah pihak.
3. Akad menurut namanya:
3.1. Akad bernama (al-u’qud al-musamma)
Yang dimaksud dengan akad bernama ialah akad yang sudah ditentukan namanya oleh pembuat hukum dan ditentukan pula ketentuan-ketentuan khusus yang berlaku terhadapnya dan tidak berlaku terhadap akad yang lain. Para fukaha berbeda pendapat tentang jumlah akad bernama. Salah satu contoh menurut al-Kasani (w 587/1190) akad bernama meliputi sebagai berikut:
• Sewa menyewah (al-ijarah)
• Pemesanan (al-istisnha)
• Jual beli (al-bai’)\
• Penanggugan (al-kafalah)
• Pemindaan utang (al-hiwalah)
• Pemberian kuasa (al-wakalah)
• Perdamaian (ash-shulh)
• Persekutuan (asy-syirkah)
• Bagi hasil (al-mudharabah)
• Hibah (al-hibah)
• Gadai (ar-rahn)
• Pengarapan tanah (al-muzaraah)
• Pemeliharaan tanaman (al-mu’amalah/al-musaqah)
• Penitipan (al-wadi’ah)
• Pinjam pakai (al-‘ariyah)
• Pembagian (al-qismah)
• Wasiat-wasiat (al-washaya)
• Perutangan (al-qardh)
3.2. Akad tidak bernama (al-‘uqud gair al-musamma)
Akad tidak bernama adalah akad yang tidak diatur secara khusus dalam kitab-kitab fiqh dibawah satu nama tertentu. Dalam kata lain, akad tidak bernama adalah akad yang tidak ditentukan oleh pembuat hukum namanya yang khusus serta tidak ada pengaturan tersendiri mengenainya. Contoh akad tidak bernama adalah perjanjian, penerbitan, periklanan, dan sebagainya.
4. Akad menurut kedudukannya:
4.1. Akad Pokok (al-‘aqd al-ashli) adalah akad yang berdiri sendiri yang keberadaannya tidak tergantung kepada suatu hal lain. Seperti: akad jual beli, sewa-menyewa, penitipan, pinjam pakai, dan seterusnya.
4.2. Akad asesoir (a-‘aqd at-tabi’) adalah akad yang keberadaannya tidak berdiri sendiri, tetapi tergantung kepada suatu hak yang menjadi dasar ada dan tidaknya atau sah dan tidak sahnya akad tersebut. Seperti: penanggungan (al-kafalah) dan akad gadai (ar-rahn).
5. Akad dari segi unsur tempo di dalam akad:
5.1. Akad bertempo (al-‘aqd az-zamani) adalah akad yang di dalamnya unsur waktu merupakan unsur asasi, dalam arti unsur waktu merupakan bagian dari isi perjanjian. Seperti: akad sewa-menyewa, akad penitipan, akad simpan pakai, dan sebagainya.
5.2. akad tidak bertempo (al-‘aqd al-fauri) adalah akad dimana unsur waktu tidak merupakan bagian dari isi perjanjian. Akad jual beli, misalnya, dapat terjadi seketika tanpa perlu unsur tempo sebagai bagian dari akad tersebut.
6. Akad dari segi formalitasnya:
6.1. Akad konsensual (al-‘aqd ar-radha’i)
Akad konsensual dimaksudkan jenis akad yang untuk terciptanya cukup berdasarkan pada kesepkatan para pihak tanpa diperlukan formalitas-formalitas tertentu. Yang termasuk akad konsensual seperti jual beli, sewa-menyewa, dan utang piutang.
6.2. Akad formalitas (al-‘aqd asy-syakli)
Akad formalitas adalah akad yang tunduk kepada syarat-syarat formalitas yang ditentukan oleh pembuat akad, apabila syarat-syarat itu tidak terpenuhi akad tidak sah. Misalnya adalah akad di luar lapangan hukum harta kekayaan, yaitu akad nikah dimana diantara formalitas yang disyariatkan adalah kehadiran dan kesaksian dua orang saksi.
6.3. Akad riil (al-‘aqd al-‘aini)
Akad riil adalah akad yang untuk terjadinya diharuskan adanya penyerahan tunai objek akad, dimana akad tersebut belum terjadi dan belum menimbulkan akibat hukum apabila belum dilaksanakan. Ada lima macam akad yang termasuk dalam kategori akad jenis ini, yaitu hibah, pinkam pakai, penitipan, kredit (utang), dan akad gadai. Dalam kaitan dengan ini terdapat kaidah hukum Islam yang menyatakan ”Tabaru’ (donasi) baru terjadi dengan pelaksanaan riil” (la yatimmu at-tabarru’ illa bi qabdh)
7. Dilihat dari segi dilarang atau tidak dilarangnya oleh syara’:
7.1. Akad masyru’ adalah akad yang dibenarkan oleh syara’ untuk dibuat dan tidak dilarang untuk menutupnya, seperti akad-akad yang sudah dikenal luas semisal jual beli, sewa menyewa, mudharabah, dan sebagainya.
7.2. Akad terlarang adalah akad yang dilarang oleh syara’ untuk dibuat seperti akad jual beli janin atau akad yang bertentangan dengan ahlak Islam (kesusilaan) dan ketertiban umum seperti sewa menyewa untuk melakukan kejahatan.

8. Akad menurut dari mengikat dan tidak mengikatnya:
8.1. Akad mengikat (al-‘aqd al-lazim) adalah akad dimana apabila semua rukun dan syaratnya telah terlaksana maka akad tersebut akan mengikat secara penuh dan masing-masing pihak tidak dapat membatalkannya tanpa perssetujuan pihak lain. Akan ini dibedakan lagi menjadi dua macam yaitu: Pertama, akad mengikat kedua belah pihak seperti akad jual beli, sewa menyewa dan sebagainya. Kedua, akad mengikat satu pihak, yaitu akad dimana salah satu pihak tidak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain, akan tetapi pihak lain dapat membatalkan tanpa persetujuan pihak pertama seperti akad kafalah (penanggungan) dan akad gadai (ar-rahn).
8.2. Akad tidak mengikat adalah akad pada masing-masing pihak dapat membatalkan perjanjian tanpa persetujuan pihak lain. Akad ini dibedakan menjadi dua, yaitu: (1) akad yang memang sifat aslinya tidak mengikat (terbuka untuk di-faskh), seperti akad Wakalah(pemberi kuasa), syirkah (persekutuan) dan sebagainya. (2) akad yang tidak mengikat karena didalamnya terdapat khiyar bagi para pihak.
9. Akad menurut dapat dilaksanakan atau tidak dapat dilaksanakan:
9.1. akad Nafiz adalah akad yang bebas dari setiap faktor yang menyebabkan tidak dapatnya akad tersebut tersebut.
9.2. akad Mauquf adalah kebalikan dari akad nafiz, yaitu akad yang tidak dapat secara langsung dilaksankan akibat hukumnya sekalipun telah dibuat secara sah, tetapi masih tergantung (mauquf) kepada adanya retifikasi (ijasah) dari pihak berkepentingan.
10. Akad menurut tanggungan:
10.1. ‘aqd adh-dhaman adalah akad yang mengalihkan tanggungan resiko atas kerusakan barang kepada pihak penerima pengalihan sebagai konsekuensi dari pelaksanaan akad tersebut, sehingga kerusakan barang yang telah diterimanya melalui akad tersebut berada dalam tanggungannya sekalipun sebagai akibat keadaan memaksa.
10.2. ‘aqd al-‘amanah adalah akad dimana barang yang dialihkan melalui barang tersebut merupakan amanah dari tangan penerima barang tersebut, sehingga dia tidak berkewajiban menanggung resiko atas barang tersebut, kecuali kalau ada unsur kesegajaan dan melawan hukum. Termasuk akad jenis ini adalah akad penitipan, akad pinjaman, perwakilan (pemberi kuasa).

F. Cacat Akad
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau kehendak sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut :
1)       Paksaan / Intimidasi (Ikrah)
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan hilangnya kerelaan.
Suatu kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu :
• Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya.
• Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan dilaksanakan
terhadapnya.
• Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat.
• Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan untuk melindungi
dirinya.
Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap kontrak yang dilakukan. Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan kepada pengadilan.
2) Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath)
Kekeliruan yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau kontrak. Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal :
• Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi ternyata cincin itu terbuat dari tembaga.
• Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, tetapi ternyata warna abu-abu.
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan.
3) Penyamaran Harga Barang (Ghubn)
Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad (barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga sesungguhnya.
Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni :
• Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada akad.
• Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja mengurangi keridaan
tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka kontrak penyamaran berat ini adalah batil.
4) Penipuan (al-Khilabah)
Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak fasakh.
5) Penyesatan (al-Taqrir)
Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk melakukan akad yang disangkanya menguntungkannya tetapi sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh.

G. Kedudukan Akad
Dalam fiqh muamalah akad memiliki kedudukan sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari definisi-definisi akad atau kontrak diantaranya :
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan. Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul).
Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Symasul Anwar yakni, “Pertemuan ijab (penawaran) yang datang dari salah satu pihak dengan Qabul (akseptasi) yang diberikan oleh pihak lain secara sah menurut hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.”
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu.
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu; Tindakan berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak bersifat akad.
Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi dua macam yakni :
a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannya atau menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak memerlukan qabul.
b). Yang tidak mengandung kehendak pihak yang menetapkan atau yang menggugurkan suatu hak, tetapi perkataan itu memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan, pengakuan di depan sidang.
Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas maka dapat dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh karena itu setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.
Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, yakni Tindakan hukum (tasharruf) adalah semua yang timbul dari seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun perkataan yang mempunyai akibat hukum.
Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan menjadi dua yakni :
a) Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang yang dijual dan lain-lain.
b) Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua yaitu:
• Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti berkongsi dan jual beli.
• Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, talak dan pembebasan kewajiban.
Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas daripada akad dan perikatan sebab tindakan hukum mencakup perbuatan, mencakup perkataan dan juga mengikat dan tidak mengikat. Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan yang berupa perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk kepada pengertian umum, tidak sebaliknya. Maka setiap akad adalah tindakan hukum dan tidak sebaliknya.
Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi (beri memberi).
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad.



H. Berakhirnya Akad
Berakhirnya akad bisa juga disebabkan karena fasakh, kematian ataukarena tidak adanya izin pihak lain dalam akad yang mauquf:
a)                                                 Berakhirnya akad karena fasakh
Yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni :
• Fasakh karena fasadnya akad
Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harusdifasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanyahal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak.
• Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis,yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya,kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan pengadilan.
• Fasakh berdasarkan iqalah. Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain membatalkan karena merasa menyesal.
• Fasakh karena tiada realisasi. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barangdalam batas waktu tertentu.
• Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. Jika batas waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atautujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadifasakh (berakhir) seperti sewa menyewa.
b) Berakhirnya Akad Karena Kematian
Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai berikut;
• Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur fuqahaselain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad ijarah.
• Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak penggadai meninggal maka barang gadai harus dijual untuk melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang, makakematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya.
• Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazimatas dua pihak. Oleh karena itu, kematian seorang dari sejumlahorang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian juga berlaku pada wakalah.

c) Berakhirnya Akad Karena Tidak adanya izin pihak lain.
Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenangtidak mengijinkannya dan atau meninggal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar