Kamis, 27 Maret 2014

BAI’ AL-MURABAHAH OLEH ARIE ZUYA

PENGERTIAN BAI’ AL-MURABAHAH
Murabahah adalah perjanjian jual-beli antara bank dengan nasabah.[1] Bank syariah membeli barang yang diperlukan nasabah kemudian menjualnya kepada nasabah yang bersangkutan sebesar harga perolehan ditambah dengan margin keuntungan yang disepakati antara bank syariah dan nasabah.
Murabahah, dalam konotasi Islam pada dasarnya berarti penjualan. Satu hal yang membedakannya dengan cara penjualan yang lain adalah bahwa penjual dalam murabahah secara jelas memberi tahu kepada pembeli berapa nilai pokok barang tersebut dan berapa besar keuntungan yang dibebankannya pada nilai tersebut. Keuntungan tersebut bisa berupa lump sum atau berdasarkan persentase.
Jika seseorang melakukan penjualan komoditi/barang dengan harga lump sum tanpa memberi tahu berapa nilai pokoknya, maka bukan termasuk murabahah, walaupun ia juga mengambil keuntungan dari penjualan tersebut. Penjualan ini disebut musawamah.
Kata al-Murabahah diambil dari bahasa Arab dari kata ar-ribhu (الرِبْحُ) yang berarti kelebihan dan tambahan (keuntungan).[2] Sedangkan dalam definisi para ulama terdahulu adalah jual beli dengan modal ditambah keuntungan yang diketahui. Hakekatnya adalah menjual barang dengan harga (modal) nya yang diketahui kedua belah transaktor (penjual dan pembeli) dengan keuntungan yang diketahui keduanya. Sehingga penjual menyatakan modalnya adalah seratus ribu rupiah dan saya jual kepada kamu dengan keuntungan sepuluh ribu rupiah.
Syeikh Bakr Abu Zaid menyatakan: (Inilah pengertian yang ada dalam pernyataan mereka: Saya menjual barang ini dengan sistem murabahah… rukun akad ini adalah pengetahuan kedua belah pihak tentang nilai modal pembelian dan nilai keuntungannya, dimana hal itu diketahui kedua belah pihak maka jual belinya shohih dan bila tidak diketahui maka batil. Bentuk jual beli Murabahah seperti ini adalah boleh tanpa ada khilaf diantara ulama, sebagaimana disampaikan Ibnu Qudaamah, bahkan Ibnu Hubairoh menyampaikan ijma’ dalam hal itu demikian juga al-Kaasaani.[3]
Inilah jual beli Murabahah yang ada dalam kitab-kitab ulama fikih terdahulu. Namun jual beli Murabahah yang sedang marak di masa ini tidaklah demikian bentuknya. Jual beli Murabahah sekarang berlaku di lembaga-lembaga keuangan syari’at lebih komplek daripada yang berlaku dimasa lalu. Oleh karena itu para ulama kontemporer dan para peneliti ekonomi islam memberikan definisi berbeda sehingga apakah hukumnya sama ataukah berbeda?
Diantara definisi yang disampaikan mereka adalah:[4]
1.      Bank melaksanakan realisai permintaan orang yang bertransaksi dengannya dengan dasar pihak pertama (Bank) membeli yang diminta pihak kedua (nasabah) dengan dana yang dibayarkan bank –secara penuh atau sebagian- dan itu dibarengi dengan keterikatan pemohon untuk membeli yang ia pesan tersebut dengan keuntungan yang disepakati didepan (diawal transaksi).
2.      Lembaga keuangan bersepakat dengan nasabah agar lembaga keuangan melakukan pembelian barang baik yang bergerak (dapat dipindah) atau tidak. Kemudian nasabah terikat untuk membelinya dari lembaga keuangan tersebut setelah itu dan lembaga keuangan itupun terikat untuk menjualnya kepadanya. Hal itu dengan harga didepan atau dibelakang dan ditentukan nisbat tambahan (profit) padanya atas harga pembeliaun dimuka.
3.      Orang yang ingin membeli barang mengajukan permohonan kepada lembaga keuangan, karena ia tidak memiliki dana yang cukup untuk membayar kontan nilai barang tersebut dan karena penjual (pemilik barang) tidak menjualnya secara tempo. Kemudian lembaga keuangan membelinya dengan kontan dan menjualnya kepada nasabah (pemohon) dengan tempo yang lebih tinggi.
4.      Ia adalah yang terdiri dari tiga pihak; penjual, pembeli dan bank dengan tinjauan sebagai pedagang perantara antara penjual pertama (pemilik barang) dan pembeli. Bank tidak membeli barang tersebut disini kecuali setelah pembeli menentukan keinginannya dan adanya janji memberi dimuka.

C.    LANDASAN SYARI’AH
Para ulama dalam masalah ini adalah tidak boleh dengan beberapa argumen di antaranya:[5]
a.       Kewajiban mengikat dalam janji pembelian sebelum kepemilikan penjual barang tersebut masuk dalam larangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjual barang yang belum dimiliki. Kesepakatan tersebut pada hakekatnya adalah akad dan bila kesepakatan tersebut diberlakukan maka ini adalah akad batil yang dilarang, karena lembaga keuangan ketika itu menjual kepada nasabah sesuatu yang belum dimilikinya.
b.      Muamalah seperti ini termasuk al-Hielah (rekayasa) atas hutang dengan bunga, karena hakekat transaksi adalah jual uang dengan uang lebih besar darinya secara tempu dengan adanya barang penghalal diantara keduanya.
c.       Murabahah jenis ini masuk dalam larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang berbunyi:
نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari dua transaksi jual beli dalam satu jual beli (HR at-Tirmidzi dan dishohihkan al-Albani dalam Irwa’ al-Gholil 5/149)[6]

Al-Muwaa’adah apabila mengikat kedua belah pihak maka menjadi aqad (transaksi) setelah sebelumnya hanya janji, sehingga ada disana dua akad dalam satu jual beli. [7]
         Ketentuan Diperbolehkannya
Syeikh Bakar bin Abdillah Abu Zaid menjelaskan ketentuan diperbolehkannya jual beli murabahah ini dengan menyatakan bahwa jual beli Muwaa’adah diperbolehkan dengan tiga hal:
1.      Tidak terdapat kewajiban mengikat untuk menyempurnakan transaksi baik secara tulisan ataupun lisan sebelum mendapatkan barang dengan kepemilikan dan serah terima.
2.      Tidak ada kewajiban menanggung kehilangan dan kerusakan barang dari salah satu dari dua belah pihak baik nasabah atau lembaga keuangan, namun tetap kembali menjadi tanggung jawab lembaga keuangan.
3.      Tidak terjadi transaksi jual beli kecuali setelah terjadi serah terima barang kepada lembaga keuangan dan sudah menjadi miliknya.
D.    SYARAT BAI’ AL-MURABAHAH
Syarat syarat ba’I murabaha: [8]
a.       Penjual memberitahubiaya modal kepada nasabah.
b.      Kontrak pertama harus sah sesuai dengan rukun yang ditetapkan.
c.       Kontrak harus bebas dari riba.
d.      Penjual harus menjelaskan kepada pembeli bila terjadi cacat atau barang sesudah pembelian.
e.       Penjual harus menyampaikan semua hal yang berkaitan demgan pembelian, misalnya jika pembelian dilakukan secara utang
Secara prinsip, jika sarat dalam a,d,dan e tidak dipenuhi pembeli akan memiliki pilihan yaitu:[9]
  Melanjutkan pembelian seperti apa adanya,
  Kembali kepada penjua dan menyatakan ketidak setujuan atas barang yang dijual,
  Membatalkan kontrak.
Murabahah dapat dilakukan berdasarkan pesanan atau tanpa pesanan. . Dalam murabahah berdasarkan pesanan, bank melakukan pembelian barang setelah ada pemesanan dari nasabah.Murabahah berdasarkan pesanan dapat bersifat mengikat atau tidak mengikat nasabah untuk membeli barang yang dipesannya.
Dalam murabahah pesanan mengikat pembeli tidak dapat membatalkan pesanannya. Apabila aktiva murabahah yang telah dibeli bank (sebagai penjual) dalam murabahah pesanan mengikat mengalami penurunan nilaisebelum diserahkan kepada pembeli maka penurunan nilai tersebut menjadi beban penjual (bank) dan penjual (bank) akan mengurangi nilai akad.
Pembayaran murabahah dapat dilakukan secara tunai atau cicilan. Selain itu, dalam murabahah juga diperkenankan adanya perbedaan dalam harga untuk cara pembayaran yang berbeda.
Bank dapat memberikan potongan apabila nasabah:
a.       Mempercepat pembayaran cicilan; atau
b.      Melunasi piutang murabahah sebelum jatuh tempo.
Harga yang disepakati dalam murabahah adalah harga jual sedangkan harga beli harus diberitahukan.[10] Jika bank mendapat potongan dari pemasok maka potongan itu merupakan hak nasabah. Apabila potongan tersebut terjadi setelah akad maka pembagian potongan tersebut dilakukan berdasarkan perjanjian yang dimuat dalam akad.
Bank dapat meminta nasabah menyediakan agunan atas piutang murabahah, antara lain dalam bentuk barang yang telah dibeli dari bank.  Bank dapat meminta kepada nasabah urbun sebagai uang muka pembelian pada saat akad apabila kedua belah pihak bersepakat.Urbun menjadi bagian pelunasan piutang murabahah apabila murabahah jadi dilaksanakan. Tetapi apabila murabahah batal, urbun dikembalikan kepada nasabah setelah dikurangi dengan kerugian sesuai dengan kesepakatan. Jika uang muka itu lebih kecil dari kerugian bank maka bank dapat meminta tambahan dari nasabah.
Apabila nasabah tidak dapat memenuhi piutang murabahah sesuai dengan yang diperjanjikan, bank berhak mengenakan denda kecuali jika dapat dibuktikan bahwa nasabah tidak mampu melunasi. Denda diterapkan bagi nasabah mampu yang menunda pembayaran. Denda tersebut didasarkan pada pendekatan ta’zir yaitu untuk membuat nasabah lebih disiplin terhadap kewajibannya.[11] Besarnya denda sesuai dengan yang diperjanjikan dalam akad dan dana yang berasal dari denda diperuntukkan sebagai dana sosial (qardhul hasan).
E.     APLIKASI DALAM PERBANKAN
Mu’amalah jual beli murabahah melalui beberapa langkah tahapan, diantara yang terpenting adalah:[12]
1)      Pengajuan permohonan nasabah untuk pembiayaan pembelian barang.
  Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli barang yang diinginkan dengan sifat-sifat yang jelas.
  Penentuan pihak yang berjanji untuk membeli tentang lembaga tertentu dalam pembelian barang tersebut.
2)      Lembaga keuangan mempelajari formulir atau proposal yang diajukan nasabah.
3)      Lembaga keuangan mempelajari barang yang diinginkan.
4)      Mengadakan kesepakatan janji pembelian barang.
  Mengadakan perjanjian yang mengikat.
  Membayar sejumlah jaminan untuk menunjukkan kesungguhan pelaksanaan janji.
  Penentuan nisbat keuntungan dalam masa janji.
  Lembaga keuangan mengambil jaminan dari nasabah ada masa janji ini.
5)      Lembaga keuangan mengadakan transaksi dengan penjual barang (pemilik pertama).
6)      Penyerahan dan kepemilikan barang oleh lembaga keuangan.
7)      Transaksi lembaga keuangan dengan nasabah.
  Penentuan harga barang.
  Penentuan biaya pengeluaran yang memungkinkan untuk dimasukkan kedalam harga.
  Penentuan nisbat keuntungan (profit).
  Penentuan syarat-syarat pembayaran.
  Penentuan jaminan-jaminan yang dituntut.
Demikianlah secara umum langkah proses jual beli Murabahah dan skema bai’ Murabahah kami lampirkan sebagai berikut:[13]
Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa jual beli murabahah ini terdiri dari:
                                i.            Ada tiga pihak yang terkait yaitu:
o   Pemohon atau pemesan barang dan ia adalah pembeli barang dari lembaga keuangan.
o   Penjual barang kepada lembaga keuangan.
o   Lembaga keuangan yang memberi barang sekaligus penjual barang kepada pemohon atau pemesan barang.
                              ii.            Ada dua akad transaksi yaitu:
o   Akad dari penjual barang kepada lembaga keuangan.
o   Akad dari lembaga keuangan kepada pihak yang minta dibelikan (pemohon).
                            iii.            Ada tiga janji yaitu:
o   Janji dari lembaga keuangan untuk membeli barang.
o   Janji mengikat dari lembaga keuangan untuk membali barang untuk pemohon.
o   Janji mengikat dari pemohon (nasabah) untuk membeli barang tersebut dari lembaga keuangan.
Dari sini jelaslah bahwa jual beli murabahah ini adalah jenis akad berganda (al-’Uquud al-Murakkabah) yang tersusun dari dua akad, tiga janji  dan ada tiga pihak. [14]Setelah meneliti muamalah ini dan langkah prosesnya akan tampak jelas ada padanya dua akad transaksi dalam satu akad transaksi, namun kedua akad transaksi ini tidak sempurna prosesnya dalam satu waktu dari sisi kesempurnaan akadnya, karena keduanya adalah dua akad yang tidak diikat oleh satu akad. Bisa saja disimpulkan bahwa dua akad tersebut saling terkait dengan satu sebab yaitu janji yang mengikat dari kedua belah pihak yaitu lembaga keuangan dengan nasabahnya.
Berdasarkan hal ini maka jual beli ini menyerupai pensyaratan akad dalam satu transaksi dari sisi yang mengikat sehingga dapat dinyatakan dengan uangkapan: Belkan untuk saya barang dan saya akan berikan untung kamu dengan sekian.

Hal ini karena barang pada akad pertama tidak dimiliki oleh lembaga keuangan, namun akan dibeli dengan dasar janji mengikat untuk membelinya. Dengan melihat kepada muamalah ini dari seluruh tahapannya dan kewajiban-kewajiban yang ada padanya jelaslah bahwa ini adalah Mu’amalah Murakkabah secara umum dan juga secara khusus dalam tinjauan kewajiban yang ada dalam muamalah ini.[15] Berbeda dengan Murabahah yang tidak terdapat janji yang mengikat (Ghairu al-Mulzaam) yang merupakan akad yang tidak saling terikat, s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar